Beliau ialah ulama zuhud dan tawaduk, penuh keteladanan dan akhlak mulia, suka menolong serta dermawan. Sebagian jalur habaib, terutama Ba'alawi, adalah keturunannya.
Sejak kecil, ia dididik oleh ayahandanya, Ali Khali’ Qasam, dengan pendidikan agama, termasuk memperdalam dan menghafal Al-Quran. Menjelang dewasa ia merantau ke berbagai tempat untuk menimba ilmu dan mencari pengalaman. Setelah merasa cukup, belakangan ia mengabdikan ilmunya – seperti syariat, tasawuf, dan bahasa Arab – di Hadramaut, sebelum tiba saatnya hijrah ke Mirbath. Di Hadramaut maupun
Selain sebagai mubalig, ia juga dikenal dermawan, suka membantu orang yang membutuhkan, dan berkorban harta bagi kepentingan umum. Rumahnya di Mirbath senantiasa terbuka bagi para tamu dari segala lapisan, mulai dari ulama, politikus, sampai orang biasa, dari perbagai penjuru. Ia memang sangat dekat dengan masyarakat.
Bukan hanya itu, ia juga suka menyantuni keluarga yang tidak mampu. Tak kurang dari 120 kepala keluarga menerima santunannya setiap bulan secara rutin. Ia juga suka membantu orang-orang yang membutuhkan pertolongannya. Setiap tamu yang datang ke rumahnya selalu ia jamu dengan penuh penghormatan.
Ia juga seorang pengusaha besar. Bisnisnya meliputi bidang pertanian, peternakan ayam, dan berbagai usaha yang berhubungan dengan hajat orang banyak. Tanahnya di Bait Jubair cukup luas dan subur. Hasil ladang pertaniannya luar biasa banyak. Salah satu ladangnya di Bait Jubair dalam satu musim pernah menghasilkan sekitar 40 kuintal gandum.
Salah satu keistimewaannya ialah suka bepergian ke berbagai tempat. Hampir semua tempat telah ia kunjungi. Setiap kali ia berkunjung ke sebuah desa selalu disambut beramai-ramai oleh penduduk setempat. Ia memang sangat terkenal dan berpengaruh di kalangan rakyat kecil.
Pada awal abad kelima Hijriah ia pindah dari Tarim ke Mirbath, dan selanjutnya bermukim di
Empat Anak
Kesibukannya menerima tamu dan mengajar tak mengurangi aktivitasnya beriktikaf, yang sering ia lakukan di berbagai masjid, terutama di Masjid Jami’ Mirbath. Masjid ini memang sengaja ia bangun khusus untuk masyarakat sekitar Mirbath. Di
Penduduk Mirbath sangat menghormatinya, terutama karena pribadinya yang penuh dengan keteladanan dan berwibawa. Tutur katanya lembut dan menarik, akhlaknya mulia dan sangat memesona. Selain bertakwa, hidupnya juga warak dan zuhud. Sebagaimana ditulis oleh Sayid Muhammad dalam kitab Al-Masyrau’r Rawy, tingkat keulamaan Shahib Mirbath telah mencapai Syaikhul Masyayikhil Islam (guru besar luar biasa dalam bidang ilmu agama Islam) dan ‘Ilmul-ulama al-A’lam (sumber ilmu para ulama). Dapat disimpulkan, kehadiran Shahib Mirbath di Mirbath banyak memberi manfaat bagi penduduk sekitarnya.
Shahib Mirbath dikaruniai empat orang anak lelaki: Abdullah, Ahmad, Alwi, dan Ali. Dari merekalah di kemudian hari berkembang cikal bakal keluarga besar Ba’alawi.
Putra pertama, Abdullah, menurut sumber-sumber sejarah, antara lain dalam kitab Al-Madkhal karya Sayid Alwi ibnu Thahir Alhadad, mempunyai keturunan yang kemudian menjadi pelopor dakwah di Asia Tenggara.
Putra kedua, Ahmad, mempunyai seorang putri bernama Zainab, yang dijuluki Ummul Fuqara’, istri Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad ibnu Shahib Mirbath.
Putra ketiga, Alwi Ammul Faqih, adalah sumber pertalian darah beberapa habib, seperti Alhadad, Aidid, ibn Smith.
Putra keempat, Ali, ia adalah ayah Al-Faqih Al-Muqaddam.
Dari merekalah kemudian keturunan Bani Alawiyin berkembang menjadi lebih kurang 75 leluhur, di samping leluhur Alawiyin lainnya dari keturunan Al-Imam Alwi Ammil Faqih Al-Muqaddam bin Muhammad Shahib Mirbath, yang akhirnya beranak-pinak menjadi lebih kurang 16 leluhur.
Adapun Ba’alawi adalah gelar kehormatan yang diberikan kepada keturunan Alawi bin Ubaidullah bin Ahmad bin Isa Al-Muhajir. Cucu Ahmad bin Isa Al-Muhajir yang bernama Alawi adalah orang pertama yang dilahirkan di Hadramaut. Oleh karena itu anak-cucu Alawi mendapat gelar Ba’alawi, yang bermakna “Keturunan Alawi”. Panggilan Ba’alawi juga bertujuan memisahkan kelompok keluarga ini dari cabang-cabang keluarga lain yang berketurunan dari Rasulullah SAW. Ba‘alawi juga dikenal dengan panggilan Sayid.
Shahib Mirbath telah berhasil mendidik kader-kader ulama sehingga menjadi ulama-ulama besar. Selain keempat putranya sendiri, ada beberapa ulama lain hasil didikannya, seperti Syekh Muhammad bin Ali (yang dimakamkan di kota Sihr), Syekh Al-Imam Ali bin Abdullah Adh-Dhafariyin, Syekh Salim bin Fadhl, Syekh Ali bin Ahmad Bamarwan, Al-Qadhi Ahmad bin Muhammad Ba'isa, Syekh Ali bin Muhammad Al-Khatib.
Dari sinilah di kemudian hari muncul beberapa generasi yang melancarkan dakwah ke seantero negeri. Dalam salah satu bait dari sebuah syairnya yang indah, Habib Abdullah bin Alwi Alhadad melukiskannya, “Penghuni Mirbath (adalah) seorang imam, pusat bermuaranya keturunannya, (yang kemudian menjadi) para ahli dakwah.” Shahib Marbath wafat pada 556 H/1136 M, dan dimakamkan di desa yang dicintainya, Mirbath.
(Disarikan dari Syarh Al-Ainiyyah, Nadzm Sayyidina Al-Habib Al-Qutub Abdullah bin Alwi Alhaddad Ba’alawi karya Al-Allamah Al-Habib Ahmad bin Zain Alhabsyi Ba’alawi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar