Rabu, Desember 30, 2009

Buku Baru: Mutiara Ahlu Bait dari Tanah Haram: Sebuah Biografi Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Hasani

Habib Sholeh bin Ahmad Al-Aydrus
277 halaman

Di dalam membaca sejarah atau biografi orang-orang soleh akan menggugah jiwa kita untuk senantiasa meneladaninya. Dengan melihat kehidupan mereka yang penuh kebaikan dan ibadah akan meningkatkan semangat untuk cinta kebaikan dan ibadah seperti mereka.

Setidaknya itulah yang terkandung di sebalik penulisan biografi Prof Dr As-Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Hasani, seorang muhaddis dan tokoh ulama sunni abad ini.

Tidak diragukan lagi, kehadiran beliau merupakan rahmat untuk umat ini. Beliau merupakan pewaris kekasih kita Nabi Muhammad saw dari sisi nasab mahupun keilmuan. Beliau telah berhasil mencetak generasi penerus dakwah Nabi Muhammad saw yang handal. Terbukti murid-murid beliau menyebar di penjuru dunia islam dengan memikul misi dakwah dan menyebarkan ilmu agama yang suci.

Sungguh jasa dan sumbangsih beliau terhadap Islam dan muslimin begitu besar dan teramat mulia.

Buku ini sendiri ditulis salah seorang murid beliau yang kini telah menjadi seorang ulama yang berpengaruh, Habib Sholeh bin Ahmad Al-Aydrus.

Buku ini terasa lebih nyaman untuk dibaca kerana juga dilengkapi beberapa foto-foto ekslusif yang berkaitan dengan beliau.

Beli di:
http://www.kiosislami.com/101,mutiara-ahlu-bait-dari-tanah-haram.html

Manaqib Tiga Permata Masjid al-Haram

Syeikh Muhammad Fuad Al-Maliki
RM10.00
Abnak Printing

Beli di:
http://al-sunnah-bookstore.blogspot.com

Al-Maliki Ulama' Rabbani Abad Ke-21

Syeikh Muhammad Fuad Al-Maliki
RM35.00
Abnak Printing


Buku mengenai biografi Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki Al-Hasani.

Beli di:
http://al-sunnah-bookstore.blogspot.com

Kamis, Desember 24, 2009

Habib Abdul Qadir bin Umar Mauladawilah, Memelihara Jejak-jejak Salaf As-Soleh

Syeikh Abu Bakar bin Salim mengatakan, “Siapa yang tidak bersungguh-sungguh di permulaannya, tidak akan sampai di penghabisannya.”

Beberapa bulan terakhir, ada sebuah buku yang banyak dicari-cari orang. Buku tersebut memuat kumpulan biografi para habib yang memiliki peranan penting dalam perkembangan dakwah Islam di Indonesia. Judulnya, 17 Habaib Berpengaruh di Indonesia. Kerana respons peminatnya yang cukup besar, hanya dalam tempoh tiga bulan buku tersebut sudah tiga kali cetak ulang. Hingga diturunkannya tulisan ini, buku itu sudah dicetak hingga 12 ribu naskah.

Bila diperhatikan secara saksama, buku tersebut memiliki keunikan tersendiri dibanding buku-buku sejenis lainnya. Selain memuat kisah perjalanan para habib sebagai insan-insan dakwah yang memiliki pengaruh kuat dalam perkembangan agama Islam di tanah air, buku tersebut juga dilengkapi banyak foto eksklusif para habib itu sendiri.

Tidak menghairankan, kerana ternyata buku itu disusun seorang sayyid muda yang sudah lebih dari sepuluh tahun terakhir bersusah payah mengumpulkan dan memelihara foto-foto para habib. Dari yang antik-antik atau foto-foto habaib dan ulama tempoh dulu, hingga foto-foto habaib zaman sekarang. Di samping mengoleksi foto, ia juga gemar mengumpulkan kisah-kisah perjalanan hidup mereka.

Dulu, di awal kesukaannya mengumpulkan foto-foto habaib dan manaqib para salaf, tidak terbersit sedikit pun dalam pikirannya bahwa pada suatu saat kelak ia akan menyusun buku semacam ini. Namun sekarang, terbitnya buku tersebut adalah salah satu bentuk natijah (buah) dari keringat himmah (kesungguhan)-nya selama ini, yang dengan penuh suka dan duka mengumpulkan jejak-jejak dakwah para habib.

Siapakah sayyid muda penulis buku itu? Dialah Habib Abdul Qadir bin Umar Mauladawilah.

Kenikmatan Memandang Wajah Habaib

Habib Abdul Qadir bin Umar Mauladawilah lahir pada tanggal 8 Juni 1982 di kota Solo, dari pasangan Habib Umar bin Agil bin Umar Mauladawilah (asal kota Malang) dan Syarifah Sidah binti Abdullah bin Husen Assegaf (asal kota Solo).

Dua tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 21 Februari 2007, ayah Habib Abdul Qadir wafat. Rencananya, sang ayah pada musim haji tahun ini akan berangkat haji. Tapi Allah SWT telah memanggilnya terlebih dahulu.

Dulu, saat orangtuanya menikah, yang menikahkan adalah Al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf, Jeddah.

Setelah dikaruniai seorang putra, Habib Umar bin Agil Mauladawilah (ayah Habib Abdul Qadir, penulis buku ini) menemui Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf dan menyampaikan kabar tentang kelahiran putra pertamanya. Saat itu, Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf-lah yang memberikan nama si anak yang baru lahir tersebut. Nama yang diberikan adalah sebagaimana namanya sendiri. Yaitu, Abdul Qadir.

Masa usia sekolah Habib Abdul Qadir dijalani seperti kebanyakan anak-anak lainnya. Ia masuk Sekolah Dasar Negeri 7 Sukun, Malang, dan kemudian melanjutkannya ke SMP Negeri 12 Malang. Selepas jenjang sekolah menengah, ia melanjutkan pendidikannya pada Madrasah Aliyah Daaruttauhid Malang sambil mondok di Pondok Pesantren Daruttauhid, yang pada masa itu masih di bawah asuhan Ustadz Abdullah bin Awwadh Abdun. Ia menyelesaikan pendidikan aliyahnya ini pada tahun 2000.

Setelah selesai pendidikan MA, ia tidak langsung pulang ke rumah. Ia masih meneruskan pendidikan diniyah di Pondok Pesantren Daruttauhid tersebut hingga tahun 2001, yaitu setelah gurunya, Ustadz Abdullah Abdun, wafat.

Sebelum masuk pondok, ia lebih fokus pada pendidikan umum dan sama sekali belum terpikirkan akan bergerak di bidang keagamaan. Kegiatan yang merupakan kegemarannya mengumpulkan dokumentasi di seputar habaib baru dimulai sejak tahun 1997, saat ia masuk Pesantren Daruttauhid.

Saat tinggal di pesantren tersebut, ia mulai merasakan adanya kenikmatan tersendiri saat berkumpul dan duduk dalam satu majelis bersama para habib. Ia pun kemudian mulai turut hadir pada acara-acara Maulid Nabi SAW ataupun haul para habib di sekitar Jawa Timu.
Seingatnya, setelah ia tinggal di Daruttauhid, acara yang pertama kali dihadirinya adalah haul Habib Shalih bin Muhsin Al-Hamid, Tanggul, Jember, Jawa Timur.

Dalam majelis-majelis ilmu seperti itu, baik di dalam pesantren sendiri maupun di acara-acara perayaan seperti acara haul, hatinya merasakan ada sesuatu yang berbeda. Ia merasakan kenikmatan bathiniah yang sukar dilukiskan.

Benarlah apa yang disebutkan dalam kalam Habib Ahmad bin Zen Al-Habsyi yang termaktub pada kitab Al-Manhaj As-Sawi, karya Habib Zen bin Ibrahim Bin Smith, “Duduk satu saat bersama orang-orang shalih, lebih bermanfaat bagi seorang hamba dari seratus atau seribu kali ‘uzlah (menyendiri, menyepi, menghindarkan diri atau mengasingkan diri dari lalu-lalangnya kehidupan duniawi demi penyucian diri – Red.).” Saat itu ia juga merasakan kenikmatan tersendiri kala memandang teduhnya wajah para habib yang datang pada acara-acara yang ia hadiri. Di hatinya pun mulai tumbuh rasa suka memandang wajah mereka, meskipun hanya lewat lembaran-lembaran fotonya.

Ia ingat, pertama kali foto yang didapatkannya adalah foto-foto Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf dan Habib Umar Bin Hud Al-Attas. Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf dapat dikatakan adalah salah satu tokoh terpenting habaib saat ini. Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf ini pulalah orang yang telah menikahkan orangtuanya dan memberikan nama pada dirinya sewaktu ia lahir. Sementara Habib Umar Bin Hud Al-Attas adalah seorang wali besar dari kota Jakarta yang telah wafat beberapa tahun silam. Saat memandang kedua tokoh habaib tersebut, hatinya berdecak kagum.

Sebuah maqalah ulama dalam kitab Nashaih Al-‘Ibad, karya Syaikh Nawawi Al-Bantani, menyebutkan bahwa di antara manusia ada yang jika kita memandang wajahnya kita akan merasa bahagia. Demikianlah, dari sana kemudian timbul keinginan untuk mengabadikan momen-momen yang menyentuh hatinya tersebut, dan ia pun mulai aktif mengumpulkan foto-foto para habib.

Sejak dari acara haul Habib Shalih Tanggul yang pertama kali ia hadiri kala itu, ia mulai menikmati aktivitasnya mengambil gambar saat berlangsungnya acara dengan kamera seadanya yang ia miliki.

Tanpa disadarinya, keasyikan yang kemudian dijalaninya secara serius dalam mengumpulkan foto para habib dari sejak ia masih nyantri di Daruttauhid, merupakan titik tolak penting dalam perjalanan hidupnya kelak.

Dalam salah satu kalamnya, Asy Syaikh Abubakar bin Salim mengatakan, “Siapa yang tidak bersungguh-sungguh di permulaannya, tidak akan sampai di penghabisannya.” Sekalipun kalam itu lebih ditujukan pada konteks mujahadah an-nafs (kesungguh-sungguhan dalam perjuangan melawan keinginan syahwat dan berbagai kecenderungan jiwa rendah), dari keumuman redaksi kalimat yang digunakan, konteks permasalahannya dapat diperluas. Terkait dengan kalam tersebut, perjalanan hidup Habib Abdul Qadir ini juga dapat menjadi hikmah bagi siapa pun yang menjalani segala kebaikan secara bersungguh-sungguh.

Terinspirasi dari Sang Guru

Sewaktu mondok dulu, anak pertama dari empat bersaudara ini juga menyaksikan betapa Ustadz Abdullah Abdun, gurunya, sangat ta’zhim kepada guru tempat Ustadz Abdullah Abdun menimba ilmu agama dulu. Guru yang dimaksud adalah Habib Idrus bin Salim Al-Jufri, pendiri Madrasah Al-Khairat, Palu, Sulawesi Tengah.

Bertahun-tahun lamanya Ustadz Abdullah Abdun berguru kepada Habib Idrus Al-Jufri. Setelah wafatnya Habib Idrus Al-Jufri, beberapa tahun kemudian Ustadz Abdullah Abdun menuliskan sebuah risalah yang berisi biografi sang Guru Tua, julukan bagi Habib Idrus bin Salim Al-Jufri.
Habib Abdul Qadir merasa, apa yang dilakukan gurunya tersebut benar-benar dapat menjadi manfaat bagi dirinya dan juga untuk orang banyak lainnya yang ingin mengetahui perjalanan hidup Habib Idrus bin Salim Al-Jufri.

Di samping mengoleksi foto-foto, ia pun kemudian menemukan kebiasaan baru lainnya, yaitu mengoleksi manaqib para ulama dan habaib. Dengan membaca manaqib mereka, ia merasa lebih dekat dengan mereka.

Selain mengoleksi manaqib yang telah cukup banyak tertulis, ia juga mengoleksi kumpulan manaqib dari kutipan-kutipan ceramah para pembicara di acara-acara haul. Di acara-acara tersebut, biasanya pembicara mengisahkan perjalanan hidup orang yang sedang dirayakan haulnya. Merekam isi ceramah saat acara berlangsung adalah salah satu kiatnya untuk mengumpulkan kisah-kisah para habib dengan menggunakan tape recorder miliknya.

Pada akhirnya, Habib Abdul Qadir ini pun sekaligus sempat menjadi seorang kolektor kaset rekaman isi ceramah-ceramah keagamaan pula. Jumlah kaset yang dikoleksinya bertambah dari waktu ke waktu.

Dalam aktivitas merekam itu, ia selalu berusaha merekam selengkap mungkin. Sewaktu acara di
tempat Habib Anis Solo misalnya, ia merekamnya dari mulai acara rauhah, haul, hingga Maulid-nya. Sehingga kalau hadir di acara haul Solo, paling sedikit ia harus membawa lima buah kaset. Apalagi kalau ia hadir dalam rangkaian peringatan Maulid Nabi SAW di Jakarta, yang berlangsung sekitar dua hingga tiga pekan lamanya. Sepulangnya dari Jakarta, ia bisa membawa sekurang-kurangnya 70 kaset hasil rekaman.

Kalau acara haul di Tegal dan Pekalongan, di masing-masing kota tersebut ia harus menyediakan minimal sekitar tujuh sampai delapan kaset.

Di samping koleksi foto-fotonya, koleksi kasetnya pun bertambah dari waktu ke waktu. Kendala yang dihadapi olehnya dalam mengoleksi kaset ternyata tidak sederhana. Dalam menatanya, butuh waktu yang tidak singkat. Ia perlu memutar dulu masing-masing kaset koleksinya untuk kemudian menandainya satu per satu. Maklum saja, pada saat awal ia mengoleksi kaset itu, teknologi suara digital belum terlalu akrab di kota tempat tinggalnya.

Belum lagi perawatan pada fisik kaset koleksinya. Bila tidak dirawat dengan baik, pita kaset akan menjamur. Hingga pernah suatu ketika sekitar 250 kumpulan koleksi kasetnya rusak termakan jamur.

Akhirnya ia sendiri mulai agak kewalahan menangani jumlah kaset rekamannya yang semakin banyak. Sementara dulu teknologi penyimpanan data digital tidak cukup mudah dijangkau seperti zaman sekarang. Sekarang semua orang dapat mengkonversi suara sebagai data digital dan kemudian dimasukkan pada media penyimpan data, seperti dalam hard disk, flash disk, CD, DVD, dan yang sejenisnya, dengan sebegitu mudahnya. Kalaupun dulu ada, harganya pun masih relatif sangat mahal.

Ia kemudian lebih memfokuskan diri pada koleksi foto saja. Banyak koleksi kaset rekaman yang ia miliki kemudian diserahkannya kepada sejumlah kawannya. Bukan dipinjamkan, tapi ia berikan begitu saja secara cuma-cuma. Ia berpikir, mungkin orang lain memiliki waktu dan konsentrasi yang lebih dibanding dirinya dalam memelihara kaset-kaset rekaman tersebut.

Ternyata koleksi foto-fotonya saja, yang kemudian dilengkapi dengan kumpulan manaqib para ulama, sangat bermanfaat sekarang ini. Sebuah perkataan yang terdapat dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim, karya Syaikh Az-Zarnuji, kiranya dapat dengan tepat menggambarkan apa yang telah dijalani oleh Habib Abdul Qadir. “Sekadar kesusahan yang ditempuh seseorang, maka akan didapat apa yang dicita-citakan.”

Bingkai Besar di Atas Motor

Siapa yang mencari sesuatu secara bersungguh-sungguh, ia akan mendapatkan. Ungkapan ini juga termaktub dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim. Kesungguh-sungguhan Habib Abdul Qadir, yang juga ternyata seorang kolektor majalah alKisah dari sejak edisi pertama kalinya, telah teruji oleh waktu.

Banyak kisah suka duka yang dialaminya dari sejak ia menjalani aktivitasnya mengoleksi foto para habib. Pernah suatu kali ia mengetahui ada seseorang di daerah Pujon, Batu, Malang, yang memiliki foto Habib Muhammad bin Alwi Al-Maliki. Menurutnya, pose Habib Muhammad Al-Maliki dalam fotonya itu unik dan menarik. Maka kemudian ia meminjam foto tersebut. Foto itu ada dalam sebuah bingkai besar yang ukurannya hampir seukuran pintu rumah.

Waktu itu ia hendak meminjam fotonya saja, tapi si empunya foto rupanya keberatan, karena khawatir akan rusak. “Kalau mau pinjam, silakan sekalian berikut bingkainya,” katanya.
Saat itu ia pun kebingungan, dengan apa ia akan membawa bingkai sebesar itu. Padahal ia hanya membawa sepeda motor. Akhirnya, ia, yang saat itu berdua dengan seorang kawan, memutuskan untuk tetap membawa foto berbingkai besar tersebut, sekalipun dengan menggunakan sepeda motor.

Di sepanjang perjalanan, ternyata membawanya cukup sulit, dan harus ekstra hati-hati, agar tidak terbentur kendaraan lain. Bebannya juga semakin berat karena tekanan angin yang mendorong bingkai foto tersebut.

Sesampainya di kota Malang, hujan deras turun secara tiba-tiba. Maka ia dan kawannya segera mencari tempat untuk berteduh. Lantaran begitu derasnya hujan, tempat berteduhnya pun terkena air hujan yang tampias. Air itu mengenai bingkai foto dan sempat merusak foto di dalamnya.

Setelah sampai di rumah, ia merepro foto tersebut dan mengganti foto yang rusak itu dengan sedikit proses di sana-sini.

Alhamdulillah, setelah dikembalikan, pemilik foto tersebut tampak senang menerimanya. Mungkin karena hasil foto repro barunya itu terlihat lebih bagus dari aslinya.
Setelah kejadian itu, bukannya kapok, Habib Abdul Qadir malah semakin merasa asyik dalam menjalani aktivitas memburu foto-foto para habib.

Nasib Baik

Suatu hari ia pernah tersasar di suatu desa di daerah Malang. Saat sedang duduk-duduk di depan sebuah rumah, ia sekilas melihat di dalam rumah tersebut terdapat foto habaib yang unik menurutnya. Namun ternyata penghuni rumah itu sedang tidak ada di rumah karena sedang bekerja.

Biasanya, seusai kerja, yaitu sekitar pukul lima sore, penghuni rumah itu sudah sampai di rumah. Ia pun kemudian menunggu selama berjam-jam untuk menanti kedatangan penghuni rumah tersebut. Saat penghuni rumah itu datang, ia menyampaikan maksudnya untuk meminjam foto yang terpampang di dinding ruangan depan rumah milik orang tersebut.
Awalnya si pemilik rumah tampak sedikit curiga. Wajar saja, karena dia merasa tidak mengenalnya sama sekali. Namun setelah diterangkan secara baik-baik, akhirnya ia diperbolehkan meminjam foto itu.

“Silakan bawa, tapi segera kembalikan lagi,” demikian pesan si pemilik foto.

“Bukannya saya berpikir tidak akan mengembalikan, tapi daerah itu sama sekali saya tidak tahu. Jangankan berpikir untuk mengembalikan foto itu, untuk kembali pulang ke rumah saja saya tidak paham,” ujarnya bercerita.

Akan tetapi karena ia memang niat meminjam, ia berjanji akan mengembalikan setelah ia merepronya.

Dengan sedikit bersusah payah akhirnya sampai juga ia di rumah.

Setelah foto itu direpro, ia pun memenuhi janjinya, mengembalikan foto tersebut. Seperti saat ia hendak pulang ke rumah, untuk mencari kembali rumah si pemilik foto itu pun ternyata menempuh waktu yang tidak sebentar. Namun akhirnya ia sampai juga di sana.

Apa yang dialami oleh Habib Abdul Qadir mengingatkan orang pada apa yang dikatakan Imam Syafi’i dalam salah satu diwannya, “Nasib baik dapat mendekatkan setiap perkara yang jauh. Nasib baik dapat membuka setiap pintu yang tertutup.”

Tentunya, nasib baik itu akan menjadi sempurna adanya bila berdasarkan niat yang baik pula, seperti halnya niatan yang ada dalam hati Habib Abdul Qadir dalam memelihara jejak-jejak peninggalan para salaf as-soleh.

Petikan:
Majalah alKisah

Jumat, Oktober 16, 2009

Dua Pendidik Sejati

Abdul Qadir bin Umar Mauladdawilah
Pustaka Basma

Habib Abdullah bin ‘Abdul Qadir bin Ahmad BalFaqih al-’Alawi adalah ulama yang masyhur alim dalam ilmu hadits. Beliau menggantikan ayahandanya Habib ‘Abdul Qadir bin Ahmad BalFaqih sebagai penerus mengasuh dan memimpin pesantren yang diasaskan ayahandanya tersebut pada 12 Rabiulawal 1364 / 12 Februari 1945 di Kota Malang, Jawa Timur.

Pesantren yang terkenal dengan nama Pondok Pesantren Darul Hadits al-Faqihiyyah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Pesantren ini telah melahirkan ramai ulama yang kemudiannya bertebaran di segenap pelusuk Nusantara. Sebahagiannya telah menurut jejak langkah guru mereka dengan membuka pesantren-pesantren demi menyiarkan dakwah dan ilmu, antaranya ialah Habib Ahmad al-Habsyi (PP ar-Riyadh, Palembang), Habib Muhammad Ba’Abud (PP Darun Nasyi-in, Lawang), Kiyai Haji ‘Alawi Muhammad (PP at-Taroqy, Sampang, Madura) dan ramai lagi.

Bapak dan anak sama-sama ulama besar, sama-sama ahli hadits, sama-sama pendidik ulung dan bijak. Merekalah Habib Abdul Qadir dan Habib Abdullah. Masyarakat Malang dan sekitarnya mengenal dua tokoh ulama yang sama-sama kharismatik, sama-sama ahli hadits, sama-sama pendidik yang bijaksana.

Mereka adalah bapak dan anak: Habib Abdul Qadir Bilfagih dan Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfagih. Begitu besar keinginan sang ayah untuk “mencetak” anaknya menjadi ulama besar dan ahli hadis – mewarisi ilmunya. Buku ini berusaha untuk menguak sedikit atsar dan biografi dari kedua tokoh tersebut.

Secangkir Hikmah

Abdul Qadir bin Umar Mauladdawilah
Pustaka Basma

Kekuatan kata-kata mampu membangkitkan seseorang dari koma yang panjang, begitu kata orang bijak. Memang sebuah kata positif dapat memberikan secercah sinar terang di tengah kegelapan. Apalagi bila kata-kata itu terucap dari lisan ulama dan orang-orang shalih. Kata mutiara, hikmah, nasehat serta motivasi tersebut dapat membangkitkan semangat serta fikiran untuk giat dalam berbuat kebajikan.

Buku ini berisi kumpulan kata mutiara dan motivasi hikmah dari para Sahabat Nabi saw, auliya’, ulama, dan shalihin sebagai pedoman dalam kehidupan. Semua nasehat yang mereka ucapkan bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw.

Di dalam buku ini terdapat nasehat, antara lain: Sayyidina Abubakar Ash-Shidiq, Sayyidina Umar bin Khattab, Sayyidina Usman bin ‘Affan, Sayyidina Ali bin Abi Thalib, para Sahabat Nabi saw, para ahli hikmah, para tokoh-tokoh sufi, para salafunasshalihin, para imam madzhab, para tokoh Auliya’ Hadramaut dari kalangan Ba’alawi, diantaranya: Asy-Syeikh Abubakar bin Salim, Al-Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad, Al-Habib Ali Al-Habsyi, Al-Habib Ahmad bin Hasan Al-Attas, dan masih banyak lagi. Hingga para tokoh Auliya’ Negeri ini, diantaranya: Al-Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas, Al-Habib Alwi bin Muhammad bin Thohir Al-Haddad, Al-Habib Abdul Qadir Bilfaqih, Al-Habib Shaleh Tanggul, dan masih banyak lagi. Serta kami tampilkan pula nasehat dari ulama zaman ini Al-Habib Umar bin Hafidz dari Tarim, Hadramaut, dan lain-lainnya.
Dalam kenyataannya, kata-kata hikmah tersebut diyakini dapat memberikan motivasi serta dampak psikologis yang mengarahkan seseorang kepada satu tujuan. Motivasi dapat membuat keadaan dalam diri individu muncul, terarah serta dapat membuat perilaku semakin berkualitas dan bermutu. Di dalam setiap perbuatan manusia, sudah pasti terdapat motivasi yang melatar belakanginya sebagai landasan kenapa perbuatan itu dilakukan. Dan motivasi yang positif akan mengarahkan seseorang menuju kesuksesan hidup di dunia dan di akhirat kelak.

Kenapa hanya Secangkir? Bukanlah ilmu, hikmah serta nasehat para Sahabat Nabi saw, para auliya’, ulama dan shalihin sangatlah luas dan bagaikan laut yang tak bertepi? Nah, justru itulah jawabannya... Buku ini hanyalah secangkir dari luasnya ilmu, hikmah dan nasehat mereka.

Buku ini lebih istimewa karena di dalamnya di selingi dengan foto-foto bersejarah yang ada kaitannya dengan kata-kata hikmah tersebut, di samping agar pembaca tidak cepat bosan, di tampilkannya foto-foto tersebut juga bertujuan agar kita tahu dan menambah kecintaan kita kepada para pewaris Nabi saw ini. Kutipan-kutipan hikmah dalam buku ini juga dapat dijadikan bahan referensi bagi para pengkhutbah, motivator, trainer maupun orang-orang yang ada kaitannya deng public relation.

Antara kata-kata hikmah yang terdapat dalam buku ini:

- "Cermin dan panutan umat Islam adalah Nabi Muhammad." (Imam Ghazali)

- "Semua para wali di angkat oleh Allah karena hatinya yang bersih, tidak sombong, tidak dengki dan selalu rendah diri." (Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas Keramat Empang, Bogor)

- “Guru yang paling bertakwa adalah Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam. Sebagaimana sabda Rasulullah: “Aku di didik oleh Tuhanku dengan sebaik-baiknya didikan.” (Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas Keramat Empang, Bogor)

Rabu, Oktober 07, 2009

Habib Abdul Qadir bin Ahmad As-Saqqaf, Ulama Habaib Kini Yang Sedang Uzur

Habib Abdul Qadir bin Ahmad As-Saqqaf dilahirkan di Kota Seiwun, Hadramaut pada tahun 1331/1911. Ayahanda beliau Habib Ahmad bin Abdur Rahman As-Saqqaf adalah seorang ulama terkemuka di Hadhramaut yang menjadi pengganti kepada Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi, penyusun Simthud Durar. Selain belajar daripada ayahandanya sendiri, beliau juga belajar dengan Syeikh Taha bin Abdullah Bahmid. Beliau juga belajar di Madrasah an-Nahdhatul Ilmiyyah dan telah menghafal al-Quran serta menguasai qiraah as-sab'ah daripada gurunya Syeikh Hasan bin Abdullah Baraja'.

Lihat bagaimana pemuka habaib menuntut ilmu bukan sahaja daripada kalangan mereka sahaja, tetapi kepada ulama lain yang alim walaupun tidak senasab dengan mereka. Pelik dengan sikap segelintir yang hanya mahu belajar daripada ulama yang sama senasab dengan mereka, jalan siapa yang kamu turuti sebenarnya. Sungguh para salaf kamu terdahulu menuntut ilmu daripada ulama tanpa melihat asal keturunan mereka hatta Imam al-Haddad mempunyai guru daripada kalangan masyaikh.

Antara guru-guru beliau lagi ialah Habib Umar bin Hamid As-Saqqaf, Habib Abdullah bin Alwi Al-Habsyi, Habib Umar bin Abdul Qadir As-Saqqaf, Habib Abdullah bin Aidrus Al-Aidrus dan ramai lagi. Habib Abdul Qadir adalah seorang ulama dan dai yang menjalankan dakwahnya dengan penuh kebijaksanaan. Akhlaknya yang tinggi mampu menawan hati sesiapa sahaja, ilmu, warak dan akhlaknya menyebabkan beliau dikasihi dan dihormati. Khabarnya Buya Hamka pernah ziarah kepada beliau sewaktu di Jeddah, dan setelah berbincang dengan beliau, akhirnya Buya Hamka mengakui bahawa Baitun Nubuwwah Bani Zahra min Ali masih wujud dan berkesinambungan dalam darah para saadah Bani Alawi.

Dakwah Habib Abdul Qadir tidak terhad kepada bumi kelahirannya sahaja, tetapi beliau juga memperluaskan medan dakwahnya sehingga ke Singapura dan Indonesia. Akhirnya atas permintaan beberapa ulama Hijaz, beliau menetap di Hijaz dengan bermukim di Makkah, Madinah dan Jeddah untuk mengasuh majlis-majlis taklim. Dalam usia yang sudah hendak mencapai seabad, beliau menghabiskan masanya di Jeddah dan masih menerima ziarahnya para penziarah. Mudah-mudahan Allah memberkahi usia dan segala usaha beliau dan membalasinya dengan sebaik-baik balasan.

Sumber:
http://bahrusshofa.blogspot.com/2007/01/habib-abdul-qadir.html


*Dikhabarkan kini beliau semakin uzur. Kita doakan semoga Allah sentiasa merahmatinya, mengasihaninya dan menjaganya. Amin.

Gambar Terkini

Selasa, Oktober 06, 2009

Habib Ali Al-Jufri, Ulama Habaib Kini Yang Memiliki Kredibiliti Tersendiri

Habib Ali Al-Jufri dilahirkan di kota Jeddah, Arab Saudi tepat sebelum fajar pada hari Jumaat, 16 April 1971 bersamaan 20 Safar 1391 H, dari orang tua yang sampai pada keturunan Imam Hussein bin Ali ra.

Nasab

Habib Ali Zainal Abidin bin Abdul Rahman bin Ali bin Alawi bin Muhammad bin Ali bin Alawi bin Ali bin Alawi bin Ahmad bin Abdul Rahman al-Maulah anak Arsha putera Muhammad Abdullah al-Tarisi bin Alawi al-Khawas putera Abu Bakar anak Jufri putra Muhammad putera Ali putera Muhammad putera Ahmad al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali bin Sahab Mirbat Muhammad bin Ali Khalil Alawi Qassam anak putera Muhammad putera Alwi putera Ubaidullah Ahmad al-Muhajir ila Allah Isa putera Muhammad al-Naqib bin Ali al -Uraidhi bin Jaafar as-Sidiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zain al-Abidin putera dari Hussein (cucu Rasulullah saw) anak dari Ali bin Abu Thalib, suami dari Fatimah al-Zahra puteri Rasulullah saw.

Ibunya yang mulia puteri Marumah putera Hassan bin Alawi bin Alawi Hassan bin Ali al-Jufri.

Pendidikan

Habib Ali Al-Jufri mulai mempelajari ilmu sejak kanak-kanak lagi melalui gurunya yang pertama iaitu ibunya sendiri. Ibunya mempunyai pengaruh yang besar atas diri beliau dan dalam pelajaran dan rohani.

Antara guru-guru beliau ialah:

- Habib Abdul Qadir bin Ahmad Al-Saqqaf, Jeddah
- Habib Ahmad Masyhur bin Taha Al-Haddad
- Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, Makkah
- Habib Attas Al-Habsyi
- Habib Abu Bakar Al-Masyhur Al-Adani
- Habib Muhammad bin Abdullah Al-Hadar
- Habib Umar bin Hafiz, Yaman, menjadi sahabatnya juga dari 1993 hingga 2003

Aktiviti dan Pengembaraan

Habib Ali Al-Jufri telah memberikan kelas untuk mengajar, bimbingan, nasihat, untuk membangunkan orang untuk tanggungjawab mereka dan untuk mengajak orang-orang kembali pada Allah dalam banyak negara, dimulai pada 1412 H/1991 di kota-kota dan desa-desa Yaman. Beliau memulai perjalanan di luar negeri 1414 H/1993 yang masih terus hari ini dan antaranya termasuk negara-negara berikut:

- Arab: UAE, Jordan, Bahrain, Arab Saudi, Sudan, Suriah, Oman, Qatar, Kuwait, Lubnan, Libya, Mesir, Maroko, Mauritania, Kepulauan Komoro dan Djibouti.
- Asia: Indonesia, Malaysia, Singapura, India, Bangladesh dan Sri Lanka.
- Afrika: Kenya dan Tanzania.
- Eropah: Britania Raya, Jerman, Perancis, Belgia, Belanda, Irlandia, Denmark, Bosnia & Herzegovina dan Turki.
- Amerika: 3 perjalanan yang pertama adalah pada tahun 1419 H/1998, yang kedua adalah pada 1422 H/2001 dan yang ketiga yang pada 2002/1423, di samping juga mengunjungi Kanada.

Selasa, September 08, 2009

Jenazah Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki

Sempena memperingati hari pemergiannya ke rahmatullah pada 15 Ramadhan 1425H bersamaan 29 Oktober 2004, waktu subuh, hari Jumaat.



Biografinya di sini, http://tamanhabaib.blogspot.com/2008/12/sayyid-muhammad-bin-alawi-al-maliki.html

Jumat, Agustus 28, 2009

Riwayat Hidup Para Wali & Shalihin

1_sipp
Habib Ahmad bin Zein Al-Habsyi
Cahaya Ilmu Publisher

Sebahagian ulama mengatakan, para wali adalah kaum yang bila kita memandang mereka, kita akan teringat Allah SWT. Ini pula yang dialami oleh seorang yang juga mencapai taraf waliyullah, Al-Imam Al-Arif billah Al-Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad, yang terakam dalam qasidahnya.

Dalam qasidah tersebut, Habib Abdullah Al-Haddad mengungkapkan kepiluan hatinya saat para waliyullah pergi meninggalkan dunia fana. Betapa tidak, para waliyullah itulah yang senantiasa menyemarakkan bumi dengan munajatnya kepada Sang Khaliq.

Mereka pula yang menerangi bumi saat kegelapan menyelimuti, dengan akhlaq dan sifat-sifat terpuji. Jika mereka tiada, bagaimana dengan manusia, yang semakin hari semakin terperosok ke lembah maksiat? Begitulah pula Habib Abdullah, yang saat itu mendapati umat Islam sudah jauh dari tariqah para salaf, yang teguh memegang ajaran Rasulullah SAW.

Ia memaparkan kegundahannya tersebut dengan cara menyebutkan sifat-sifat dan akhlaq mulia para kekasih Allah, yang kebanyakan berasal dari kalangan ahlul bayt tersebut. Kalimat-kalimat yang disusunnya begitu indah dan menyentuh hati.

Ini adalah buku pertama dari dua buku penjelasan qashidah Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad yang ditulis oleh muridnya sendiri, Habib Ahmad bin Zen Al-Habsyi. Sang murid memberinya judul Ainiyah, karena setiap bait qashidah diakhiri dengan huruf ‘ain.

Insya Allah, dengan membaca buku ini kita akan terdorong untuk meneladani kemuliaan akhlaq para waliyullah tersebut.

Beli di:
http://fajarilmubaru.com.my

Selasa, Juni 02, 2009

Habib Umar bin Hafidz - Singa Podium

Sosok Habib Umar bin Hafidz tidak bias dipisahkan dari keberadaan pondok pesantren Darul Mustafa yang didirikannya di Kota Tarim, Hadramaut, yang melahirkan da’i-da’i muda tersebar di penjuru dunia. Dalam buku ini kita diajak untuk mengenal lebih jauh tentang apa dan siapa Habib Umar bin Hafidz.

Bagi para pecinta Habib umar, buku ini sudah seharusnya menjadi rujukan yang wajib untuk melengkapi koleksi bacaan di rumah. Karena, selain berisi biografi singkat beliau, dan beberapa petikan ceramah ketika berkunjung ke Indonesia, buku ini juga menjadi unik dan menarik karena di dalamnya dilengkapi118 foto ekslusif. Insya Allah dengan membacanya, anda akan medapata kesejukan da ketentraman hatidari mutiara-mutiara nasehat yang disampaikan oleh sang Habib.

Beli di:
http://fajarilmubaru.com.my

Senin, Maret 30, 2009

Buku Baru: Lembaran Hidup Ulama' - Warisan IImuwan Islam


Kata-Kata Penulis

Sesungguhnya segala puji milik Allah, kami memujiNya, memohon pertolongan dan ampunan kepadaNya. Kami berlindung kepada Allah dari berbagai kejahatan diri-diri kami dan kejelekan amal perbuatan kami. Selawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi s.a.w., beserta keluarga, para sahabat dan pengikutnya yang lurus hingga hari kiamat.

Para ahli ilmu baik yang terdahulu hingga saat ini telah menulis & menyusun sejarah para ulama. Mereka menyusun karya-karya besar menyebutkan kemuliaan dan peninggalan-peninggalan mereka sebagai kenyataan sabda Rasulullah s.a.w.:

“Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati seorang yang lebih tua, tidak menyayangi seorang yang lebih kecil dan tidak mengakui hak seorang alim.” (Riwayat Ahmad, disahihkan oleh Al-Albani)

Sesungguhnya kisah hidup para ulama penuh dengan haruman hikmah, teladan, ilmu dan manfaat. Apabila kita membaca sesuatu kisah hidup ulama itu, pastinya kita akan mendapat ketenangan hati dan semangat diri. Juga dapat melembutkan hati kita dan seterusnya dapat meneladani peribadi para ulama yang penuh dengan mutiara kemuliaan.

Buku ini mengajak pembaca untuk menyusuri kisah hidup para ulama dengan lebih mendalam lagi merangkumi kehidupan, peribadi, minat, ilmu, keluarga dan jasa-jasa dan sumbangan para ulama yang hebat. Agar mereka lebih mengenal keperibadian dan kehebatan-kehebatan para ulama dalam pelbagai bidang ilmu.

Tentu ramai lagi yang belum mengetahui bahawa para ulama itu bukan sahaja hebat dalam bidang ilmu yang mereka ceburi, tetapi ada di antara para ulama itu memiliki kelebihan yang luar biasa dalam bidang ilmu yang lainnya lagi. Pernahkah anda mendengar, Imam Syafie dan Imam Ahmad bin Hanbal pandai mengalunkan syair? Imam Malik tahu menyanyi?

Ini sebenarnya ialah kelebihan mereka masing-masing dalam bidang ilmu tersebut. Mereka telah cuba berusaha untuk menuntut dan mempelbagaikan ilmu mereka selain didorong oleh minat mereka sendiri. Ini ialah suatu kebanggaan yang patut kita kagumi.

Selain itu, Ibnu Firnas ialah orang pertama melakukan cubaan terbang di udara dalam sejarah. Ramai tidak mengetahui perkara ini sebenarnya. Kita lebih mengetahui mengenai Wright Bersaudara yang telah mencipta pesawat terbang berbanding ilmuwan Islam kita ini yang telah terlebih dahulu melakukan percubaan terbang di udara, seribu tahun sebelum Wright.

Seseorang ulama itu juga sanggup menghabiskan seluruh hidup dan masa mereka untuk perkara-perkara yang bermanfaat sahaja. Sehinggakan Imam Nawawi, lebih rela membujang untuk dapat menelaah dan mengkaji ilmu dengan lebih lagi.

Kemuncak kemuliaan seseorang itu dapat dilihat pada saat-saat akhir hayatnya. Seperti yang telah berlaku pada akhir hayat Imam Ahmad bin Hanbal, Badiuzzaman Said Nursi dan Syeikh Al-Albani. Jenazah mereka telah dihadiri dan ditangisi ramai orang yang mencecah ribuan jumlahnya. Perjuangan, kemuliaan dan kebenaran para ulama tersebut tampak pada hari kematian mereka.

Kita sepatutnya lebih bangga dan kagum dengan para ulama yang telah menyerahkan seluruh hidup mereka untuk Islam tercinta. Kita sepatutnya menjadikan mereka wira idaman yang kita minati dan sanjungi. Daripada kita menjadikan tokoh-tokoh Barat, artis-artis Barat dan sebagainya sebagai wira idaman.

Pemuda-pemudi kini lebih banyak menjadikan tokoh-tokoh Barat dan artis-artis Barat sebagai wira mereka. Sepatutnya mereka sedar yang wira-wira mereka itu tidak patut untuk dijadikan teladan dalam hidup. Kerana kehidupan mereka penuh dengan kegelapan. Mereka sanggup mengambil banyak tahu mengenai kehidupan, peribadi dan minat tokoh-tokoh yang penuh dengan kegelapan.

Kita sepatutnya lebih merasa bangga dengan wira kita sendiri seperti yang terutama sekali ialah Rasulullah s.a.w., para sahabat Nabi s.a.w. dan para ulama yang kehidupan mereka jauh lebih mulia lagi dan penuh dengan hikmah teladan.

Kehidupan para ulama sangat bermanfaat untuk dibaca dan dihayati dalam cabaran dan fatamorgana dunia kini. Hati kita akan bisa menjadi lembut dan akan dituruni rahmat apabila kita membaca dan menghayati kehidupan para ulama. Banyak akan kita dapati ilmu dan manfaat mereka. Dan kita akan temui diri kita sebenarnya kembali, menguatkan semangat kita dan seterusnya menyemarakkan semangat perjuangan kita untuk Islam.

Buku ini juga telah disajikan dengan gambar-gambar para ulama yang menarik supaya anda lebih menghayati kehidupan seseorang ulama itu. Apabila kita melihat wajah seseorang ulama, itu sebenarnya telah dikira sebagai ibadah.

Di harapkan, buku ini dapat lebih menyedarkan kita akan kehidupan para ulama yang penuh dengan kemuliaan dan manfaat yang jarang kita hayati, peribadi mereka yang jarang kita teladani, sifat dan minat mereka jarang kita ketahui, keluarga mereka yang jarang kita ambil tahu dan sumbangan mereka yang jarang kita hargai.

Tatapilah karya pertama yang telah saya hasilkan ini. Semoga anda dan diriku sendiri lebih menghargai dan mengenang jasa-jasa para ulama yang begitu besar demi Islam tercinta. Semoga usaha saya ini mendapat keredhaan Allah SWT dan kira sebagai amal soleh yang berpanjangan sehingga ke akhir hayat ini. Amin.

Muhammad Abdulloh bin Suradi @ M.A.Uswah
16 Februari 2009
Sandakan, Sabah

www.tamanulama.blogspot.com


Penanda buku di dalam... Dapatkan segera!

Boleh pesan melalui saya atau dengan Hijjaz melalui http://lamanpenerbithrp.blogspot.com apabila terbit dan dipasarkan pada bulan April nanti.

____________________________________________________________
Perincian Buku:
Penerbit / Editor Urusan : Mohd Faizal Osman | Penulis : Muhammad Abdulloh Suradi | Editor / Pruf : Zuryati Isa | Rekaletak / Aturhuruf Dalaman : Siti Amin | Konsep Kulit Buku : Bert/Abaios | Rekabentuk Luaran : Fadly Halim | Model/Khat : Abai Os | Muka Surat : 330 | Terbitan : Hijjaz Records Publishing | Edaran : Marketing Dept. HRSB | Tarikh diPasarkan : April 2009 | Harga Semenanjung : RM28.90 | Harga Sabah / Sarawak : RM30.90 | Harga Singapura / Brunei : $17.00

Selasa, Maret 17, 2009

Habib Muhammad bin Husein Al-Aidrus, Wajahnya Jernih Dengan Pancaran Nur (Cahaya)

Habib Muhammad bin Husein Al-Aidrus ialah salah seorang ulama yang menjadi penerang umat di zamannya. Cahaya keilmuan dan akhlaknya menjadi teladan bagi mereka yang mengikuti jejak ulama salaf.

Beliau dilahirkan pada 1888M di Tarim, Hadramaut. Kewalian dan sir beliau tidak begitu tampak di kalangan orang awam. Namun di kalangan kaum arifin billah darjat dan karamah beliau sudah bukan hal yang asing lagi, kerana memang beliau sendiri lebih sering bermuamalah dan berinteraksi dengan mereka.

Didikan dan Perjalanannya

Sejak kecil, Habib Muhammad dididik dan diasuh secara langsung oleh ayah beliau sendiri, Habib Husein bin Zainal Abidin Al-Aidrus. Setelah usianya dianggap cukup matang oleh ayahnya, Habib Muhammad dengan keyakinan yang kuat kepada Allah SWT merantau ke Singapura.

أَََلَمْ َتكُنْ أَرْضُ اللهِ وَاسِعَةً فتَََهَاجَرُوْا فِيْهَا

Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu? (An-Nisa': 97)

Setelah merantau ke Singapura, beliau berhijrah ke Palembang, Sumatera Selatan. Di kota ini beliau menikah dengan sepupunya, Aisyah binti Mustafa Al-Aidrus. Dari pernikahan itu beliau dikurniai Allah, tiga anak lelaki dan seorang anak perempuan. Dari Palembang, beliau melanjutkan perantauannya ke Pekalongan, Jawa Tengah. Di sini jugalah beliau seringkali mendampingi Habib Ahmad bin Talib Al-Attas.

Dari Pekalongan beliau berhijrah ke Surabaya tempat Habib Mustafa Al-Aidrus yang tidak lain adalah pamannya tinggal. Seorang penyair, al-Hariri pernah mengatakan:

وَحُبِّ البِلَادَ فَأَيُّهَا أَرْضَاكَ فَاخْتَرْهُ وَطَنْ

Cintailah negeri-negeri mana saja yang menyenangkan bagimu dan jadikanlah (negeri itu) tempat tinggalmu

Akhirnya beliau memutuskan untuk tinggal bersama pamannya di Surabaya, yang waktu itu terkenal di kalangan masyarakat Hadramaut sebagai tempat berkumpulnya para auliaillah. Di antaranya adalah Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdar, Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi, Habib Abu Bakar bin Umar bin Yahya dan masih banyak lagi para habaib yang mengharumkan nama kota Surabaya waktu itu.

Selama menetap di Surabaya, Habib Muhammad suka berziarah, antara lain ke makam para wali dan ulama di Kudus, Jawa Tengah, dan Tuban, Jawa Timur. Dalam ziarah itulah, beliau konon pernah bertemu secara rohaniah dengan seorang wali karismatik, Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf, Gresik.

Dikatakan bahawa para sayyid dari keluarga Zainal Abidin (keluarga ayah Habib Muhammad) adalah para sayyid dari Bani Alawi yang terpilih dan terbaik kerana mereka mewarisi asrar (rahsia-rahsia). Mulai dari ayah dan datuk beliau, tampak jelas bahwa mereka mempunyai maqam di sisi Allah SWT. Mereka adalah pakar-pakar ilmu tasauf dan adab yang telah menyelami ilmu makrifatullah, sehingga patut bagi kita untuk menjadikan mereka sebagai contoh teladan.

Diriwayatkan dari sebuah kitab manaqib keluarga Habib Zainal Abidin mempunyai beberapa karangan yang kandungan isinya mampu memenuhi 10 gudang kitab-kitab ilmu ma'qul/manqul sekaligus ilmu-ilmu furu' (cabang) maupun usul (inti) yang ditulis berdasarkan dalil-dalil jelas yang hasilnya dapat dipertanggungjawabkan sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh para pakar dan ahli (para aslafuna as-solihin).

Peribadinya Yang Luar Biasa

Habib Muhammad bin Husein Al-Aidrus ialah seorang yang pendiam, sedikit makan dan tidur. Setiap orang yang berziarah kepada beliau pasti merasa nyaman dan senang kerana memandang wajah beliau yang ceria dan jernih dengan pancaran nur (cahaya). Setiap waktu beliau gunakan untuk selalu berzikir dan berselawat kepada datuk beliau Rasulullah s.a.w.. Beliau juga gemar memenuhi undangan kaum fakir miskin. Setiap pembicaraan yang keluar dari mulut beliau selalu bernilai kebenaran-kebenaran sekalipun pahit akibatnya. Tidak seorangpun dari kaum muslimin yang beliau khianati, apalagi dianiaya.

Setiap hari jam 10 pagi hingga Zuhur beliau selalu menyempatkan untuk menjamu para tamu yang datang dari segala penjuru kota, bahkan ada sebahagian dari mancanegara. Sedangkan waktu antara Maghrib sampai Isyak, beliau pergunakan untuk menelaah kitab-kitab yang menceritakan perjalanan kaum salaf. Setiap malam Jumaat, beliau mengadakan pembacaan burdah bersama para jamaahnya.

Beliau memang sering diminta nasihat oleh warga di sekitar rumahnya, terutama dalam masalah kehidupan sehari-hari, masalah rumahtangga, dan masalah masyarakat lainnya. Itu semua beliau terima dengan senang hati dan tangan terbuka. Dan konon, beliau sudah tahu apa yang akan dikemukakan, sehingga si tetamu merasa hairan dan puas. Apalagi jika kemudian mendapat jalan keluarnya. “Itu pula yang saya ketahui secara langsung. Beliau adalah guru saya,” tutur Habib Mustafa bin Abdullah Al-Aidrus, menantunya, yang juga pimpinan Majlis Taklim Syamsi Syumus, Tebet Timur Dalam Raya, Jakarta Selatan.

Di antara mujahadah beliau, selama 7 tahun berpuasa dan dan hanya berbuka dan bersahur dengan tujuh biji kurma. Bahkan pernah selama setahun beliau berpuasa dan hanya berbuka dan bersahur dengan gandum yang sangat sedikit. Untuk berbuka puasa dan bersahur selama setahun itu beliau hanya menyediakan gandum sebanyak lima mud saja. Dan itulah pula yang dilakukan oleh Imam al-Ghazali. Satu mud ialah 675 gram.

Habib Muhammad pernah berkata, "Di masa permulaan aku gemar menelaah kitab-kitab tasauf. Aku juga senantiasa menguji nafsuku ini dengan meniru perjuangan mereka (kaum salaf) yang tersurat dalam kitab-kitab salaf itu".

Digelar Habib Neon

Pada suatu malam, ketika ribuan jemaah tengah mengikuti taklim di sebuah masjid di Surabaya, tiba-tiba bekalan elektrik terpadam. Tentu saja mereka risau, heboh. Mereka satu persatu keluar, apalagi malam itu bulan tengah purnama. Ketika itulah dari kejauhan tampak seseorang berjalan menuju masjid. Dia mengenakan gamis dan serban putih, berselempang kain rida warna hijau. Dia ialah Habib Muhammad bin Husein Al-Aidrus.

Begitu masuk ke dalam masjid, aneh dan ajaib, mendadak masjid terang-benderang seolah ada lampu neon yang menyala. Padahal, Habib Muhammad tidak membawa obor atau lampu. Para jamaah kehairanan. Apa yang terjadi? Setelah diperhatikan, ternyata cahaya terang-benderang itu keluar dari tubuh sang habib. Maka, sejak itu beliau mendapat gelaran Habib Neon.

Pewaris Peribadi Imam Ali Zainal Abidin

Habib Muhammad bin Husein Al-Aidrus ialah pewaris peribadi Imam Ali Zainal Abidin yang haliyahnya agung dan sangat mulia. Beliau juga memiliki maqam tinggi yang jarang diwariskan kepada generasi-generasi penerusnya. Dalam hal ini Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad telah menyifati mereka dalam untaian syairnya:

ثبتوا على قـدم النبى والصحب \ والتـابعين لهم فسل وتتبع
ومضو على قصد السبيل الى العلى \ قدما على قدم بجد أوزع

Mereka tetap dalam jejak Nabi dan sahabat-sahabatnya
Juga para tabiin. Maka tanyakan kepadanya dan ikutilah jejaknya.

Mereka menelusuri jalan menuju kemuliaan dan ketinggian
Setapak demi setapak (mereka telusuri) dengan kegigihan dan kesungguhan.

Wafatnya

Habib Muhammad bin Husein Al-Aidrus wafat pada 30 Jamadilawal 1389 H/22 Jun 1969 M dalam usia 71 tahun dan jenazahnya dikebumikan di Taman Pemakaman Umum Pegirikan, Surabaya, di samping makam paman dan mertuanya, Habib Mustafa Al-Aidrus, sesuai dengan wasiatnya.

Setelah beliau wafat, aktiviti dakwahnya dilanjutkan oleh puteranya yang ketiga, Habib Syeikh bin Muhammad Al-Aidrus dengan membuka majlis burdah di Ketapang Kecil, Surabaya. Haul Habib Muhammad diselenggarakan setiap hari Khamis pada akhir bulan Jamadilawal.

Minggu, Maret 15, 2009

17 Habaib Berpengaruh Di Indonesia

Abdul Qadir Umar Mauladawilah
RM29.50
Pustaka Bayan


Isi Kandungan:

Pengertian Alawiyin
Mencintai Keluarga Nabi
Imam Ahmad al-Muhajir
Thriqah yang Damai
Asal-Usul Walisongo
Habib Husein bin Abubakar al-Aydrus, Luar Batang, Jakarta
Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib al-Attas, Pekalongan
Habib Abdullah bin Muhsin al-Attas, Empang, Bogor
Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi, Surabaya
Habib Muhammad bin Ahmad al-Muhdhor, Bondowoso
Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf, Gresik
Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi, Kwitang, Jakarta
Habib Alwi bin Muhammad bin Thohir al-Haddad, Bogor
Habib Husein bin Muhammad bin Thohir al-Haddad, Jombang
Habib Jakfar bin Syaikhan Assegaf, Pasuruan
Habib Ali bin Husein al-Attas, Jakarta
Habib Idrus bin Salim al-Jufri, Sulawesi Tengah
Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih, Darul Hadis, Malang
Habib Muhammad bin Husein al-Aydrus, Surabaya
Habib Salim bin Ahmad bin Jindan, Jakarta
Habib Sholeh bin Muhsin al-Hamid, Tanggul, Jember
Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani, Mekah, Saudi Arabia

Beli di:
http://fajarilmubaru.com.my

Kamis, Januari 29, 2009

Habib Umar bin Hafiz, Ulama Habaib Terkenal Masa Kini

Beliau ialah Habib Umar putera dari Muhammad putera dari Salim putera dari Hafiz putera dari Abdullah putera dari Abi Bakr putera dari Aidarus putera dari Hussein putera dari Syeikh Abi Bakr putera dari Salim putera dari Abdullah putera dari Abdul Rahman putera dari Abdullah putera dari Syeikh Abdul Rahman al-Saqqaf putera dari Muhammad Maula al-Dawilah putera dari Ali putera dari Alawi putera dari al-Faqih al-Muqaddam Muhammad putera dari Ali putera dari Muhammad Shahib Mirbat putera dari Ali Khali Qasam putera dari Alawi putera dari Muhammad putera dari Alawi putera dari Ubaidillah putera dari Imam al-Muhajir Ahmad putera dari Isa putera dari Muhammad putera dari Ali al-Uraidi putera dari Ja'far al-Sadiq putera dari Muhammad al-Baqir putera dari Ali Zainal Abidin putera dari Hussein sang cucu lelaki, putera dari pasangan Ali putera dari Abu Talib dan Fatimah az-Zahra puteri dari Rasul Muhammad s.a.w..

Beliau dilahirkan di Tarim, Hadramaut, salah satu kota tertua di Yaman yang menjadi sangat terkenal di seluruh dunia dengan berlimpahnya para ilmuwan dan para alim ulama yang dihasilkan kota ini selama berabad-abad. Beliau dibesarkan di dalam keluarga yang memiliki tradisi keilmuan Islam dan kejujuran moral dengan ayahnya yang adalah seorang pejuang martir yang terkenal, Sang Intelektual, Sang Da’i Besar, Muhammad bin Salim bin Hafiz bin Shaikh Abu Bakr bin Salim.

Ayahnya ialah salah seorang ulama intelektual Islam yang mengabdikan hidup mereka demi penyebaran Islam dan pengajaran hukum suci serta aturan-aturan mulia dalam Islam. Beliau secara tragis diculik oleh kelompok komunis dan diperkirakan telah meninggal, semoga Allah mengampuni dosa-dosanya. Demikian pula kedua datuk beliau, Habib Salim bin Hafiz dan Habib Hafiz bin Abdullah yang merupakan para intelektual Islam yang sangat dihormati kaum ulama dan intelektual Muslim pada masanya. Allah seakan menyiapkan kondisi-kondisi yang sesuai bagi Habib Umar dalam hal hubungannya dengan para intelektual muslim disekitarnya
serta kemuliaan yang muncul dari keluarganya sendiri dan dari lingkungan serta masyarakat dimana ia dibesarkan.

Beliau telah mampu menghafal al-Quran pada usia yang sangat muda dan ia juga menghafal berbagai teks inti dalam fiqh, hadis, bahasa Arab dan berbagai ilmu-ilmu keagamaan yang membuatnya termasuk dalam lingkaran keilmuan yang dipegang teguh oleh begitu banyaknya ulama-ulama tradisional seperti Muhammad bin Alawi bin Shihab dan Syeikh Fadl Baa Fadl serta para ulama lain yang mengajar di Ribat, Tarim yang terkenal itu. Maka beliau pun mempelajari berbagai ilmu termasuk ilmu-ilmu spiritual keagamaan dari ayahnya yang meninggal syahid, Habib Muhammad bin Salim, yang darinya didapatkan cinta dan perhatiannya yang mendalam pada da'wah dan bimbingan atau tuntunan keagamaan dengan cara Allah s.w.t. Ayahnya begitu memperhatikan sang ‘Umar kecil yang selalu berada di sisi ayahnya di dalam lingkaran ilmu dan zikir.

Namun secara tragis, ketika Habib ‘Umar sedang menemani ayahnya untuk solat Jumaat, ayahnya diculik oleh golongan komunis, dan sang ‘Umar kecil sendirian pulang ke rumahnya dengan masih membawa syal milik ayahnya, dan sejak saat itu ayahnya tidak pernah terlihat lagi. Ini menyebabkan ‘Umar muda menganggap bahawa tanggungjawab untuk meneruskan pekerjaan yang dilakukan ayahnya dalam bidang dakwah sama seperti seakan-akan syal sang ayah menjadi bendera yang diberikan padanya di masa kecil sebelum beliau mati syahid.

Sejak itu, dengan sang bendera dikibarkannya tinggi-tinggi, dia memulai, secara bersemangat,
perjalanan penuh perjuangan, mengumpulkan orang-orang, membentuk majlis-majlis dan dakwah. Perjuangan dan usahanya yang keras demi melanjutkan pekerjaan ayahnya mulai membuahkan hasil. Kelas-kelas mulai dibuka bagi anak muda maupun orang tua di mesjid-mesjid setempat dimana ditawarkan berbagai kesempatan untuk menghafal al-Quran dan untuk belajar ilmu-ilmu tradisional.

Dia sesungguhnya telah benar-benar memahami Kitab Suci sehingga ia telah diberikan sesuatu yang khusus dari Allah meskipun usianya masih muda. Namun hal ini mulai mengakibatkan kekhawatiran akan keselamatannya dan akhirnya diputuskan beliau dikirim ke kota al-Bayda’ yang terletak di tempat yang disebut Yaman Utara yang menjadikannya jauh dari jangkauan mereka yang ingin mencelakai sang sayyid muda.

Disana dimulai babak penting baru dalam perkembangan beliau. Masuk sekolah Ribat di al-Bayda’ ia mulai belajar ilmu-ilmu tradisional dibawah bimbingan ahli dari yang mulia Habib Muhammad bin Abdullah al-Haddar, semoga Allah mengampuninya, dan juga dibawah bimbingan ulama mazhab Syafie, Habib Zain bin Sumait, semoga Allah melindunginya. Janji beliau terpenuhi ketika akhirnya dia ditunjuk sebagai seorang guru tak lama sesudahnya. Dia juga terus melanjutkan perjuangannya yang melelahkan dalam bidang dakwah.

Kali ini tempatnya adalah al-Bayda’ dan kota-kota serta desa-desa disekitarnya. Tiada satu pun yang terlewat dalam usahanya untuk mengenalkan kembali cinta kasih Allah dan Rasul-Nya s.a.w pada hati mereka seluruhnya. Kelas-kelas dan majelis didirikan, pengajaran dimulai dan orang-orang dibimbing. Usaha beliau yang demikian gigih menyebabkannya kekurangan tidur dan istirahat mulai menunjukkan hasil yang besar bagi mereka tersentuh dengan ajarannya, terutama para pemuda yang sebelumnya telah terjerumus dalam kehidupan yang kosong dan dangkal, namun kini telah mengalami perubahan mendalam hingga mereka sadar bahwa hidup memiliki tujuan, mereka bangga dengan indentitas baru mereka sebagai orang Islam, mengenakan serban/selendang Islam dan mulai memusatkan perhatian mereka untuk meraih sifat-sifat luhur dan mulia dari Sang Rasul Pesuruh Allah s.a.w..

Sejak saat itu, sekelompok besar orang-orang yang telah dipengaruhi beliau mulai berkumpul mengelilingi beliau dan membantunya dalam perjuangan dakwah maupun keteguhan beliau dalam mengajar di berbagai kota besar maupun kecil di Yaman Utara. Pada masa ini, beliau mulai mengunjungi banyak kota-kota maupun masyarakat diseluruh Yaman, mulai dari kota Ta'iz di utara, untuk belajar ilmu dari mufti Ta‘iz al-Habib Ibrahim bin Aqil bin Yahya yang mulai menunjukkan pada beliau perhatian dan cinta yang besar sebagaimana ia mendapatkan perlakuan yang sama dari Habib Muhammad al-Haddar sehingga ia memberikan puterinya untuk dinikahi setelah menyaksikan bahwa dalam diri beliau terdapat sifat-sifat kejujuran dan kepintaran yang agung.

Tak lama setelah itu, beliau melakukan perjalanan melelahkan demi melakukan ibadah Haji di Mekkah dan untuk mengunjungi makam Rasul s.a.w di Madinah. Dalam perjalanannya ke Hijaz, beliau diberkahi kesempatan untuk mempelajari beberapa kitab dari para ulama terkenal disana, terutama dari Habib Abdul Qadir bin Ahmad al-Saqqaf yang menyaksikan bahwa di dalam diri ‘Umar muda, terdapat semangat pemuda yang penuh cinta kepada Allah dan RasulNya s.a.w. dan sungguh-sungguh tenggelam dalam penyebaran ilmu dan keadilan terhadap sesama umat manusia sehingga beliau dicintai al-Habib Abdul Qadir salah seorang guru besarnya. Begitu pula beliau diberkahi untuk menerima ilmu dan bimbingan dari kedua pilar keadilan di Hijaz, yakni Habib Ahmad Mashur al-Haddad dan Habib Attas al-Habshi.

Sejak itulah nama Habib Umar bin Hafiz mulai tersebar luas terutama dikeranakan kegigihan usaha beliau dalam menyerukan agama Islam dan memperbaharui ajaran-ajaran awal yang tradisional. Namun kepopularan dan ketenaran yang besar ini tidak sedikitpun mengurangi usaha pengajaran beliau, bahkan sebaliknya, ini menjadikannya mendapatkan sumber tambahan dimana tujuan-tujuan mulia lainnya dapat dipertahankan.

Tiada waktu yang terbuang sia-sia, setiap saat dipenuhi dengan mengingat Allah dalam berbagai manifestasinya, dan dalam berbagai situasi dan lokasi yang berbeda. Perhatiannya yang mendalam terhadap membangun keimanan terutama pada mereka yang berada didekatnya, telah menjadi salah satu dari perilaku beliau yang paling terlihat jelas sehingga membuat nama beliau tersebar luas bahkan hingga sampai ke Dunia Baru.

Negara Oman akan menjadi fase berikutnya dalam pergerakan menuju pembaharuan abad ke-15. Setelah menyambut baik undangan dari sekelompok Muslim yang memiliki hasrat dan keinginan menggebu untuk menerima manfaat dari ajarannya, beliau meninggalkan tanah kelahirannya dan tidak kembali hingga beberapa tahun kemudian. Bibit-bibit pengajaran dan kemuliaan juga ditanamkan di kota Shihr di Yaman timur, kota pertama yang disinggahinya ketika kembali ke Hadramaut, Yaman.

Disana ajaran-ajaran beliau mulai tertanam dan diabadikan dengan pembangunan Ribat al-Mustafa. Ini merupakan titik balik utama dan dapat memberi tanda lebih dari satu jalan, dalam hal melengkapi aspek teoritis dari usaha ini dan menciptakan bukti-bukti kongkrit yang dapat mewakili pengajaran-pengajaran di masa depan.


Kepulangannya ke Tarim menjadi tanda sebuah perubahan mendasar dari tahun-tahun yang ia habiskan untuk belajar, mengajar, membangun mental agamis orang-orang disekelilingnya, menyebarkan seruan dan menyerukan yang benar serta melarang yang salah. Dar-al-Mustafa menjadi hadiah beliau bagi dunia, dan di pesantren itu pulalah dunia diserukan. Dalam waktu yang dapat dikatakan demikian singkat, penduduk Tarim akan menyaksikan berkumpulnya pada murid dari berbagai daerah yang jauh bersatu di satu kota yang hampir terlupakan ketika masih dikuasai para pembangkang komunis.

Murid-murid dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Kepulauan Comoro, Tanzania, Kenya, Mesir, Inggris, Pakistan, Amerika Serikat dan Kanada, juga negara-negara Arab lain dan negara bagian di Arab akan diawasi secara langsung oleh Habib Umar. Mereka ini akan menjadi perwakilan dan penerus dari apa yang kini telah menjadi perjuangan asli demi memperbaharui ajaran Islam tradisional di abad ke-15 setelah hari kebangkitan. Berdirinya berbagai institusi Islami serupa di Yaman dan di negara-negara lain dibawah manajemen al-Habib Umar akan menjadi sebuah tonggak utama dalam penyebaran Ilmu dan perilaku mulia serta menyediakan kesempatan bagi orang-orang awam yang kesempatan tersebut dahulunya telah dirampas dari mereka.


Habib Umar kini tinggal di Tarim, Yaman dimana beliau mengawasi perkembangan di Dar al-Mustafa dan berbagai sekolah lain yang telah dibangun dibawah manajemen beliau. Beliau masih memegang peran aktif dalam penyebaran Islam, sedemikian aktifnya sehingga beliau meluangkan hampir sepanjang tahunnya mengunjungi berbagai negara di seluruh dunia demi melakukan kegiatan-kegiatan mulianya.

Senin, Januari 05, 2009

Ustaz Taha Suhaimi, Cucu Syeikh Muhammad as-Suhaimi

Ustaz Taha as-Suhaimi ialah keturunan langsung Nabi s.a.w. yang dicintai melalui keluarga Ba Shaiban, satu gelaran yang terkemuka Bani 'Alawi dari Hadramaut. Beliau dilahirkan pada Khamis, pada 27 Julai 1916 M / 26 Ramadhan 1334 H.

Beliau menerima pendidikan awal di Lembaga Raffles di Singapura dan kemudian di Kuliyah al-'Attas di Johor, Malaysia, yang ayahnya, Syeikh Muhammad Fadhlullah yang alim dan arif dalam syariat, yang mendirikan dan bertindak seperti Dekan.

Setelah lulus dari kolej, beliau melanjutkan pelajaran di Universiti Al-Azhar, Mesir untuk belajar lebih lanjut. Ketika di Mesir, beliau mengunjungi makam Syeikh Ahmad Badawi di Tanta. Di sana, beliau menerima instruksi yang jelas untuk mencari ilmu. Kerana pengalaman itu, beliau belajar di Mesir untuk jangka waktu sekitar 8 tahun sebelum pulang kembali ke Singapura, diisi dengan berbagai pengetahuan tentang ilmu agama yang difahami orang banyak dan tanpa sertifikasi apapun.

Ustaz Taha as-Suhaimi segera menemukan bahawa datuknya, Syeikh Muhammad Ibnu 'Abdullah as-Suhaimi, wali Allah yang besar, mendirikan sebuah tariqat dengan bacaan al-Aurad al-Muhammadiyah adalah amalan utama. Beliau kemudian dilanjutkan belajar di Klang, Malaysia, di mana pamannya, Syeikh Muhammad Khairullah, juga pernah membimbing para murid di tariqat ini.

Beliau menerima pelatihan rohani dari pamannya di Klang di mana dia memasuki uzlah untuk jangka waktu sekitar 6 bulan. Setelah mencapai ijazah di mana beliau diberikan izin untuk membimbing orang-orang dan terhadap tariqat ini, dia kembali ke Singapura dan diangkat sebagai dosen di Ngee Ann College dan presiden pertama dari Shari'ah Court.

Beliau telah memainkan peranan dalam mempertahankan Madrasah Al-Ma'arif Al-Islamiah, melalui perusahaan perjalanannya. Beberapa keuntungan dari perusahaan tersebut telah disalurkan kepada Madrasah dari dana. Beliau juga yang menyumbangkan keuntungan dari buku ke Madrasah. Selain itu kegiatan di Madrasah itu, beliau juga aktif di Masjid Ma'rof. Beliau juga disiapkan untuk skrip program agama di Radio Singapura, dan mengajar mata pelajaran agama di rumahnya. Beliau dikenal sebagai Syeikh tariqat dan seni beladiri eksponen. Di antara buku-bukunya ialah:

1) Hakikat Syirik
2) Haji dan Umrah
3) Tauhid
4) Qadha 'dan Qadar
5) Kitab »Iman
6) Kitab Puasa
7) Bukti-bukti Kebenaran Al-Quran
8) Apakah Alkitab telah diubah
9) Muhammad Foretold Sebelumnya dalam Kitab Suci.

Selama tahun 1960, beliau dikenal masyarakat Muslim di Singapura bahawa Tariqat Al-Muhammadiyah memiliki bentuk yang dikenal sebagai seni beladiri pencak silat Sunda yang berafiliasi dengannya. Selama huru-hara di Singapura, Ustaz Taha dihadapi mendadak peningkatan jumlah murid yang mencari perlindungan dari kekerasan yang sampai detik hitam dalam sejarah Singapura. Perlindungan yang diberikan oleh Allah melalui cara ini adalah seni beladiri yang efektif sehingga jumlah murid mencapai puluhan ribu.

Kini, Pemerintah Singapura yang dibutuhkan pendaftaran lisensi untuk setiap persatuan yang mencakup seni beladiri sebagai latihan. Kerana ini, Ustaz Taha mendirikan Persatuan Singapura Islam dan Pencak Silat yang dikenal sebagai PERIPENSIS, yang lokasinya dekat dengan Madrasah Al-Ma'arif di Ipoh Lane.

Di Singapura, Ustaz Taha yang terkenal untuk sangat aktif menjadi pendebat ketika membahaskan tasauf dan agama Kristian. Beliau bahkan menulis beberapa buku dalam bahasa Inggeris yang berkaitan dengan agama Kristian, yang mana usahanya itu sama dengan usaha dan jasa Ahmad Deedat. Kerana itu keluasan pemahaman beliau tentang berbagai ilmu agama, keberanian, kearifan dan menguasai bahasa Inggeris dan Bahasa Arab, beliau selalu mudah menyelesaikan masalah seperti Tawassul dan Tabarruk. Para sufi lainnya di Singapura bahkan mendekati beliau untuk mempertahankan kepercayaan mereka ketika mereka menghadapi tuduhan bidaah dari antara ulama tertentu dari masyarakat Muslim Singapura.

Ustaz Taha akan selalu diingat sebagai mualim utama dari Tariqat Al-Muhammadiyah. Beliau akan selalu diingat sebagai insan yang sangat percaya bahawa adalah mustahil bagi umat Islam untuk berbohong. Diamati dengan teliti semua pidatonya dan aktivitinya itu dalam harmoni dengan sunnah kita tercinta Nabi Muhammad s.a.w.. Beliau tinggal dalam satu kehidupan sederhana dan walaupun ia benar-benar kaya. Kekayaan beliau itu disedekahkan ke Madrasah Al-Ma'arif, PERIPENSIS dan orang-orang yang dianggap miskin. Beliau makan sehari-hari sangat sedikit dan pakaiannya hanya terdiri dari dua helai. Ada masanya beliau sendirian di malam hari. Selama pelajaran, beliau akan, hampir selalu, menjelaskan konsep-konsep agama tertentu dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan dan sebaliknya. Beliau akan menerangkan kepada siswa yang kadang-kadang sulit untuk memahami beberapa konsep dan praktik agama.

Tidak ada keraguan bahwa ayahnya dan dirinya bermain peranan yang sangat penting dalam membangun dan memperkuat dari Komuniti Muslim di Singapura.

Beliau meninggal pada Selasa, 8 Jun 1999 / 23 Safar 1420, pada usia 83 tahun. Semoga Allah memberkati beliau dan memberi jiwa kita manfaat dari ilmu pengetahuan, cahaya dan rahsia beliau. Amin.

Diterjemahkan dari:
http://heliconia.wordpress.com/2007/01/28/ustaz-sayid-taha-suhaimi-he-who-showed-the-path

Jumat, Januari 02, 2009

Habib Ali bin Husein Al-Attas (Bungur)

Habib Ali bin Husein Al-Attas, beliau lebih dikenal dengan sebutan Habib Ali Bungur. Beliau merupakan rantai jaringan Ulama Betawi sampai sekarang ini. Beliau memiliki jasa yang sangat besar dalam menorehkan jejak langkah dakwah dikalangan masyarakat Betawi. Beliau menjadi rujukan umat di zamannya, Al-Habib Salim bin Jindan mengatakan bahwa Al-Habib Ali bin Husein Al-Attas dan Al-Habib Ali Kwitang bagaikan kedua bola matanya, dikarekan keluasan khazanah keilmuan kedua habib itu.

Silsilah beliau adalah : Al-Habib Ali bin Husein bin Muhammad bin Husein bin Ja’far bin Muhammad bin Ali bin Husein bin Al-Imam Al-Qutub Al-Habib Umar bin Abdurrahman Al-Attas bin Agil bin Salim bin Abdullah bin Abdurrahman Assegaf bin Mauladawilah bin Ali bin Alwi Al-Ghuyyur bin Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam bin Ali bin Muhammmad Sahib Mirbath bin Ali Khala’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin ‘Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad An-Naqib bin Ali Al-‘Uraidhi bin Ja’far Ash-Shadiq bin Muhammad Baqir bin Ali Zaenal Abidin bin Husein bin Ali bin Ali Thalib suami Fatimah Az-Zahra binti Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam.

 Beliau lahir di Huraidhah, Hadramaut, pada tanggal 1 Muharram 1309 H, bertepatan dengan 1889 M. semenjak usia 6 tahun beliau belajar berbagai ilmu keislaman pada para ulama dan auliya yang hidup di Hadramaut saat itu, sebagaimana jejak langkah generasi pendahulunya, seelah mendalami agama yang cukup di Hadramaut, pada tahun 1912 M beliau pergi ke tanah suci unuk menunaikan haji serrta berziarah ke makam datuknya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam di Madinah. Disana beliau menetap di Makkah. Hari-hari beliau dipergunakan untuk menimba ilmu kepada para ulama yang berada di Hijaz. Setelah 4 tahun (tak banyak sejarawan yang menulis bagaimana perjalanan beliau hingga kemudian tiba di Jakarta) setelah menetap di Jakarta, beliau berguru kepada para ulama yang berada di tanah air,diantaranya : Al-Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas (Empang-Bogor), Al-Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Attas (Pekalongan) dan Al-Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi (Surabaya), Al-Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhor (Bondowoso).

 Di daerah Cikini beliau tinggal, sebuah kampung yang masyarakatnya hidup dibawah gais kemiskinan. Beliau tinggall bersama-sama rakyat jelata. Setiap orang mengenal Habib Ali, pasti akan berkata “hidupnya sederhana,tawadhu’,teguh memegang prinsip, menolak pengkultusan manusia, berani membela kebenaran, luas dalam pemikiran, mendalam di bidang ilmu pengetahuan, tidak membeda-bedakan yang kaya dan yang miskin, mendorong terbentuknya Negara Indonesia yang bersatu, utuh serta berdaulat, tidak segan-segan menegur para pejabat yang mendatanginya dan selalu menyampaikan agar jurang antara pemimpin dan rakyat dihilangkan, rakyat mesti dicintai,”hal inilah yang menyebabkan rakyat mencintai Al-Habib Ali bin Husein Al-Attas, beliau tidak pernah menadah tangannya kepada orang-orang kaya harta, sebab beliau memiliki kekayaan hati, beliau tidak mau menengadahkan tangannyadibawah, kecuali hanya memohon kepada Rabbul ‘Alamin. Beliau memiliki ketawakalan yang tinggi kepada Allah azza wa jalla. Beliau selalu mengorbankan semangat anti penjajah dengan membawakan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam yang menganjurkan melawan penjajah. “Penjajah adalah penindas, kafir dan wajib diperangi” begitulah yang sering beliau ucapkan. Beliau tergolong pejuang yang anti komunis. Pada masa pemberontakan PKI, beliau selalu mengatakan bahwa “PKI dan komunis akan lenyap dari bumi Indonesia dan rakyat akan selalu melawan kekuatan atheis. Ini berkah perjuangan para ulama dan auliya yang jasadnya bertebaran di seluruh nusantara”.

 Semasa hidupnya beliau tidak pernah berhenti dan tak kenal lelah dalam berdakwah. Salah satu karya terbesar beliau adalah kitab Tajul A’ras fi Manaqib Al-Qutub Al-Habib Sholeh bin Abdullah Al-Attas, sebuah kitab sejarah para ulama Hadramaut yang pernah beliau jumpai, dari masa penjajahan Inggris di Hadramaut, sehingga sekilas perjalanan para ulama Hadramaut di Indonesia. Buku itu juga berisi tentang beberapa kandungan ilmu tasawuf dan Thariqah Alawiyah.

Semasa hidupnya beliau selalu berjuang membela umat, kesederhanaan serta istiqomahnya dalam mempraktekkan ajaran islam dalam kehidupan sehari-hari menjadi taulan yang baik bagi umat.

Beliau selalu mengajarkan dan mempraktekkan bahwa islam mengajak umat dari kegelapan pada cahaya yang terang, membawa dari taraf kemiskinan kepada taraf keadilan dan kemakmuran dan beliau pun wafat pada tanggal 16 Februari 1976, jam 06:10 pagi dam usia 88 tahun dan beliau dimakamkan di pemakaman Al-Hawi, condet Jakarta timur.

Sumber: http://nurulmusthofa.org