Rabu, Mei 21, 2008

Habib Ahmad Muhsin Assegaf, Penulis Sejarah dan Sasterawan Hebat

Salah satu pakar nasab di Indonesia yang meletakkan dasar-dasar ilmu nasab adalah Habib Ahmad bin Abdullah bin Muhsin Assegaf. Selain dikenal sebagai pakar ilmu nasab yang jempolan, ia juga dikenal wartawan, sastrawan dan guru bagi banyak orang.

Habib Ahmad dikenal sebagai wartawan, sejarawan, dan sastrawan keturunan Arab yang terkenal pada masa kemerdekaaan RI. Sayid Ahmad bin Abdullah Assegaf, banyak menyerang pemerintah kolonial Belanda lewat tulisan-tulisannya. Untuk melengkapi data tulisannya itu, dia mendatangi berbagai tempat di Indonesia untuk bertemu dengan tokoh masyarakat, ulama, dan sejarawan.

Ia juga adalah salah satu pendiri pergerakan Arrabithah Al-Alawiyyah dan sekaligus menerbitkan majalah Arrabithah Al-Alawiyyah, majalah yang mengupas bidang keagamaan dan politik. Majalah Arrabithah Al-Alawiyyah dalam waktu yang tidak lama menjadi wadah bagi para penulis muda untuk menyampaikan pendapat mengenai keislaman dan politik, berperan sebagai sarana untuk menampik pengaruh orientalis barat di Indonesia.

Habib Ahmad bin Abdullah bin Muhsin Assegaff sendiri lahir pada tahun 1299 H (1879 M) di kota Syihr, Hadramaut. Ketika umurnya menginjak usia 4 tahun, ia dibawa oleh kedua orang tuanya ke kota Seiwun, saat itu terkenal sebagai kota ilmu yang menghasilkan banyak ulama besar dan shalihin. Di kota itu, ia mempelajari ilmu ushuludin, fiqh, tata bahasa, sastra dan tasawuf.

Tak puas menyerap ilmu di Seiwun, lantas ia pergi ke Tarim yang saat itu juga dikenal sebagai pusat para ulama besar. Hampair setiap hari, ia mendatangi majlis-majlis ilmu dan mengadakan hubungan yang akrab dengan guru-guru yang shalih, seperti Sayid Abdurahman bin Muhammad al-Masyhur, Syaikh Saleh, Syaikh Salim Bawazier, Syaikh Said bin Saad bin Nabhan, Sayyid Ubaidillah bin Muhsin Assegaff, Habib Ahmad bin Hasan Alattas, Habib Muhammad bin Salim As-Siri dan lain-lain.

Ustadz Ahmad Assegaff dikenal sangat gemar mengadakan perjalanan ke berbagai negeri tetangga untuk menemui ulama-ulama dan mengadakan dialog dengan para cendekiawan, sehingga ia sangat dikagumi oleh pusat-pusat ilmiah pada masa itu.

Tahun 1333 H (1913 M), ia berlayar ke Singapura dan ke Indonesia untuk mengunjungi saudaranya yang tertua, Sayid Muhammad bin Abdullah bin Muhsin Assegaff di Pulau Bali. Ia tinggal di Pulau Dewata itu beberapa lama, sambil berguru sekaligus berdakwah di sana.
Ia kemudian melanjutkan perjalanannya ke Surabaya, berjumpa dengan beberapa perintis pergerakan Islam serta para cendekiawan. Mereka sering terlibat diskusi membahas kebangkitan pergerakan keturunan Arab dan kaum muslimin di masa mendatang.

Habib Ahmad saat itu terpilih menjadi direktur yang pertama dari Madrasah Al-Khairiyah di Surabaya. Ia memimpin sekolah yang kebanyakan diikuti oleh warga keturunan arab itu dengan sangat bijaksana dan mulai saat itu namanya dikenal sebagai orang yang ahli dalam bidang pendidikan. Di kota Surabaya, ia menikah dan mempunyai beberapa orang putra.

Kemudian, ia pindah ke Solo dan tetap bersemangat mencari ilmu pengetahuan. Di kota batik inilah ia mempelajari ilmu psikologi dan manajemen sekolah, kebetulan ia juga menjadi salah pengurus sekolah swasta. Selain mengajar, ia juga berdagang sehingga ia sering pergi ke Jakarta untuk mengurus perniagaannya. Usaha dagang semakin maju. Itu membuat Habib Ahmad pindah ke Jakarta dan menjadi pimpinan sekolah Jami’at Kheir.

Berbagai perubahan demi kemajuan dalam pendidikan mulai ia rintis, di antaranya dengan membuka kelas-kelas baru bagi para pelajar, menyusun tata tertib bagi pelajar, mengarang buku-buku sekolah serta lagu-lagu untuk sekolah.

Buku-buku pelajaran yang ia susun diantaranya terdiri dari buku-buku agama, sastra dan akhlaq. Keberhasilannya dalam memimpin sekolah dan menciptakan sistem pendidikan, mengundang perhatian yang luas dari pemerhati masalah pendidikan baik dalam maupun luar negeri, seperti dari Malaysia dan Kesultanan Gaiti di Mukalla. Intinya, mereka meminta Habib Ahmad untuk memimpin pengajaran sekolah di negeri mereka. Namun, permintaan tersebut ditolak dengan halus, karena ia tengah merintis pembentukan Yayasan Arrabithah Al-Alawiyyah.

Melalui pergerakan Arrabithah Al-Alawiyyah pula, ia mempunyai pengaruh yang sangat kuat di dalam memberikan petunjuk dan pentingnya persatuan di kalangan umat Islam dalam menghadapi penjajahan. Semua itu dapat dilihat dalam qasidah, syair serta nyanyian yang ia karang.

Salah satu kitab yang dikarang oleh Habib Ahmad adalah Kitab Khidmatul Asyirah. Kitab itu dibuat sebagai ringkasan dari kitab Syams Azh-Zhahirah. Dalam kitab ini Habib Ahmad menguraikan secara sistematis mengenai nasab dan pentingnya setiap orang memelihara kesucian nasabnya dengan ahlak yang mulia. Karena tidaklah mudah untuk menjaga nasab, sebagai ikatan penyambung keturunan serta asal-usul kembalinya keturunan seseorang kepada leluhurnya.

Dalam kitab ini, riwayat seseorang ia diteliti dengan seksama supaya terjaga kesucian nasabnya, dengan susunan yang tertib dari awal sampai akhir. Habib Ahmad bekerja keras untuk menyempurnakan isi buku ini walaupun ia mempunyai kesibukan yang luar biasa baik Rabithah Alawiyah maupun sebagai pengajar di Jami’at Kheir. Segala rintangan dihadapinya dengan penuh ketegaran dan semangat pantang mundur dengan satu tekad menyusun sejarah nasab Alawiyin merupakan pekerjaan yang sangat mulia.

Habib Ahmad, dalam kitab Khidmatul Asyirah menambahkan catatan beberapa orang yang terkemuka serta para ulama yang hidup sekitar tahun 1307-1365 H, saat menulis kitab ini sekitar tahun 1363 Habib Ahmad menghitung terdapat lebih dari 300 qabilah dan kitab ini pertama kali diterbitkan di Solo pada Rabiul Awal 1365 H.

Dari sekitar 20 buah bukunya, Ahmad bin Abdullah Assagaf sempat menulis sejarah Banten berjudul Al-Islam fi Banten (Islam di Banten). Karangannya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah Fatat Garut (Gadis Garut) berupa roman kehidupan multietnik Indonesia di awal abad ke-20 oleh penerbit Lentera pada tahun 1997 dan diterjemahkan oleh Drs. Ali bin Yahya. Karya sastra ini sangat indah dan patut untuk dibaca karena banyak mengandung budaya bangsa dan syair-syair.

Karya-karyanya yang lain banyak disebarluaskan di madrasah-madrasah sebagai buku wajib pelajaran sekolah baik dalam mau pun di luar negeri. Diantaranya adalah cerita-cerita yang berisi masalah pendidikan seperti Dhahaya at-Tasahul, dan Ash-Shabr wa ats-Tsabat (berisi tentang cara hidup yang baik di dalam masyarakat untuk mencapai kemulian dunia dan akhirat), buku-buku pendidikan dan ilmu jiwa, Sejarah masuknya Islam di Indonesia dan lain-lain.
Keahlian Habib Ahmad didalam syair mendapat pengakuan dari banyak ahli syair di negara Arab. Selain itu Habib Ahmad juga punya keahlian di bidang kerajinan tangan dan elektronika dan pernah membuat sebuah alat musik yang dinamakan Alarangan.

Saat tentara Jepang datang ke Indonesia pada tahun 1942 dan menyerbu Hindia Belanda serta menyebabkan pertempuran yang sengit di Batavia menyebabkan Habib Ahmad pindah ke Solo. Setelah pertempuran mereda, Habib Ahmad kembali ke Jakarta dan mengajar di Kalibata.
Setelah 40 tahun menetap di Indonesia, pada 1950 ia berniat meninggalkan Indonesia menuju ke Hadramaut.

Tepat pada hari Jumat, 22 Jumadil Awwal 1369 H ia berangkat dari Jakarta, dengan mempergunakan kapal laut dari pelabuhan Batavia. Namun Allah SWT telah menentukan umurnya, tepatnya Selasa 26 Jumadil Awal 1369 H ia berpulang ke haribaan-Nya.

Setelah diadakan upacara keagamaan seperlunya di atas kapal, pada hari Kamis, 28 Jumadil Awal 1369 H, jenazahnya kemudian dimakamkan di laut lepas, sebelum memasuki pelabuhan Medan. Yang sangat disayangkan, banyak karya Habib Ahmad yang belum sempat dibukukan juga ikut hilang dalam perjalanan itu.

Jumat, Mei 02, 2008

Habib Abdul Qadir bin Bilfaqih Al-Alawi, Hafal Ribuan Hadis

Di Kota Bunga, Malang, Jawa Timur, ada seorang auliya’ yang terkenal karena ketinggian ilmunya. Ia juga hafal ribuan hadits bersama dengan sanad-sanadnya.

Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih Al-Alawi dilahirkan di kota Tarim, Hadramaut, pada hari Selasa 15 Safar tahun 1316 H/1896 M. Saat bersamaan menjelang kelahirannya, salah seorang ulama besar, Habib Syaikhan bin Hasyim Assegaf, bermimpi bertemu Sulthanul Auliya’ Syekh Abdul Qadir Jailani. Dalam mimpi itu Syekh Abdul Qadir Jailani menitipkan kitab suci Al-Quranul Karim kepada Habib Syaikhan bin Hasyim Assegaf agar diberikan kepada Habib Ahmad bin Muhammad Bilfagih.

Pagi harinya Habib Syaikhan menceritakan mimpinya kepada Habib Ahmad. Habib Ahmad mendengarkan cerita dari Habib Syaikhan, kemudian berkata, ”Alhamdulillah, tadi malam aku dianugerahi Allah SWT seorang putra. Dan itulah isyarat takwil mimpimu bertemu Syekh Abdul Qadir Jailani yang menitipkan Al-Quranul Karim agar disampaikan kepadaku. Oleh karena itu, putraku ini kuberi nama Abdul Qadir, dengan harapan, Allah SWT memberikan nama maqam dan kewalian-Nya sebagaimana Syekh Abdul Qadir Jailani.”

Demikianlah, kemudian Habib Ahmad memberi nama Abdul Qadir karena mengharap berkah (tafa’ul) agar ilmu dan maqam Abdul Qadir seperti Syekh Abdul Qadir Jaelani.

Sejak kecil, ia sangat rajin dan tekun dalam mencari ilmu. Sebagai murid, ia dikenal sangat cerdas dan tangkas dalam menerima pelajaran. Pada masa mudanya, ia dikenal sebagai orang yang mempunyai perhatian besar terhadap ilmu dan menaruh penghormatan yang tinggi kepada guru-gurunya. Tidaklah dinamakan mengagungkan ilmu bila tidak memuliakan ahli ilmu, demikian filosofi yang terpatri dalam kalbu Habib Abdul Qadir.

Pernah suatu ketika di saat menuntut ilmu pada seorang mahaguru, ia ditegur dan diperingatkan, padahal Habib Abdul Qadir waktu itu pada pihak yang benar. Setelah memahami dan mengerti bahwa sang murid berada di pihak yang benar, sang guru minta maaf. Namun, Habib Abdul Qadir berkata, ”Meskipun saya benar, andaikan Paduka memukul muka hamba dengan tangan Paduka, tak ada rasa tidak menerima sedikit pun dalam diri hamba ini.” Itulah salah satu contoh keteladanan yang tinggi bagaimana seorang murid harus bersopan-santun pada gurunya.

Guru-guru Habib Abdul Qadir, antara lain, Habib Abdullah bin Umar Asy-Syatiry, Habib Alwy bin Abdurrahman Al-Masyhur, Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf, Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdor, Syekh Segaf bin Hasan Alaydrus, Syekh Imam Muhammad bin Abdul Qadir Al-Kattany, Syekh Umar bin Harridan Al-Magroby, Habib Ali bin Zain Al-Hadi, Habib Ahmad bin Hasan Alatas, Habib Ali bin Muhammad Al-Habsy, Syekh Abubakar bin Ahmad Al-Khatib, Syekh Abdurrahman Bahurmuz.

Dalam usia yang masih anak-anak, ia telah hafal Al-Quran. Tahun 1331 H/1912 M, ia telah mendapat ijazah dan berhak memberikan fatwa agama, antara lain di bidang hukum, dakwah, pendidikan, dan sosial. Ini merupakan anugerah Allah SWT yang telah diberikan kepada hamba pilihan-Nya.

Maka tidak berlebihan bila salah seorang gurunya, Habib Alwi bin Abdullah bin Syihab, menyatakan, ”Ilmu fiqih Marga Bilfagih setara dengan ilmu fiqih Imam Adzro’iy, sedangkan dalam bidang tasawuf serta kesusastraan bagai lautan tak bertepi.”

Sebelum meninggalkan kota Tarim untuk berdakwah, di tanah kelahirannya ia sempat mendirikan organisasi pendidikan sosial Jami’yyatul Ukhuwwah wal Mu’awanah dan Jami’yyah An-Nasr Wal Fudho’il tahun 1919 M.

Sebelum berhijrah ke Indonesia, Habib Abdul Qadir menyempatkan diri beribadah haji dan berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan dan singgah di beberapa kota dan negara, seperti Aden, Pakistan, India, Malaysia, dan Singapura. Di setiap kota yang disinggahi, ia selalu membina umat, baik secara umum maupun khusus, dalam lembaga pendidikan dan majelis taklim.

Tiba di Indonesia tepatnya di kota Surabaya tahun 1919 M/1338 H dan langsung diangkat sebagai direktur Madrasah Al-Khairiyah. Selanjutnya, ia mendirikan Lembaga Pendidikan Madrasah Ar-Rabithah di kota Solo tahun 1351 H/1931 M.

Selepas bermukim dan menunaikan ibadah haji di Makkah, sekembalinya ke Indonesia tanggal 12 Februari 1945 ia mendirikan Pondok Pesantren Darul Hadits Al-Faqihiyyah dan Perguruan Islam
Tinggi di kota Malang. Ia pernah diangkat sebagai dosen mata kuliah tafsir pada IAIN Malang pada 1330 H/1960 M.

Keistimewaan Habib Abdul Qadir adalah, ia ahli ilmu alat, nahwu, sharaf, manthiq, ilmu kalam, serta ma’any, bay
an, dan badi (tiga yang terakhir merupakan bagian ilmu sastra). Dalam bidang hadits, penguasaannya adalah bidang riwayat maupun dirayah, dan hafal ribuan hadits. Di samping itu, ia banyak mendapat hadits Al-Musalsal, yakni riwayat hadits yang tersambung langsung kepada Rasulullah SAW. Ini diperolehnya melalui saling tukar isnad (saling menukar periwayatan hadits) dengan Sayid Alwy bin Abas Al-Maliky saat berkunjung ke Makkah.

Sebagai seorang ulama yang menaruh perhatian besar dalam dunia pendidikan, ia juga giat mendirikan taklim
di beberapa daerah, seperti Lembaga Pendidikan Guru Agama di Sawangan, Bogor, dan Madrasah Darussalam Tegal, Jawa Tengah.

Banyak santrinya yang di kemudian hari juga meneruskan jejaknya sebagai muballigh dan ulama, seperti Habib Ahmad Al-Habsy (Ponpes Ar-Riyadh Palembang), Habib Muhammad Ba’abud (Ponpes Darul Nasyi’in Malang), Habib Syekh bin Ali Al Jufri (Ponpes Al-Khairat Jakarta Timur), K.H. Alawy Muhammad (Ponpes At-Taroqy Sampang, Madura). Perlu disebutkan, Prof. Dr. Quraisy Shihab dan Prof. Dr. Alwi Shihab pun alumnus pesantren ini.

Habib Abdul Qadir wafat pada 21 Jumadil Akhir 1382 H/19 November 1962 dalam usia 62 tahun. Kala saat-saat terakhirnya, ia berkata kepada putra tunggalnya, Habib Abdullah, ”... Lihatlah, wahai anakku. Ini kakekmu, Muhammad SAW, datang. Dan ini ibumu, Sayyidatunal Fatimah, datang....” Ribuan umat berdatangan untuk meyampaikan penghormatan terakhir kepada sang permata ilmu yang mumpuni itu. Setelah disemayamkan di Masjid Jami’ Malang, ia dimakamkan di kompleks makam Kasin, Malang, Jawa Timur.

Diringkas dari manaqib tulisan Habib Soleh bin Ahmad Alaydrus, pengajar Ponpes Darul Hadits Malang, Jawa Timur