

Masyarakat Malang dan sekitarnya mengenal dua tokoh ulama yang sama-sama karismatik, sama-sama ahli hadis, sama-sama pendidik yang bijaksana. Mereka adalah bapa dan anak: Habib Abdul Qadir Bilfagih dan Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfagih. Begitu besar keinginan sang ayah untuk 'mencetak' anaknya menjadi ulama besar dan ahli hadis, mewarisi ilmunya.
Ketika menunaikan ibadah haji, Habib Abdul Qadir Bilfagih berziarah ke makam Rasulullah saw di kompleks Masjid Nabawi, Madinah. Di sana ia memanjatkan doa kepada Allah SWT agar dikurniai putera yang kelak tumbuh sebagai ulama besar, dan menjadi seorang ahli hadits.
Beberapa bulan kemudian, doa itu dikabulkan oleh Allah SWT. Pada 12 Rabiulawal 1355 H/1935 M, lahirlah seorang putera buah pernikahan Habib Abdul Qadir dengan Syarifah Ummi Hani binti Abdillah bin Agil, yang kemudian diberi nama Abdullah.
Sesuai dengan doa yang dipanjatkan di makam Rasulullah SAW, Habib Abdul Qadir pun mencurahkan perhatian sepenuhnya untuk mendidik putra tunggalnya itu. Pendidikan langsung ayahanda ini tidak sia-sia. Ketika masih berusia tujuh tahun, Habib Abdullah sudah hafal Al-Quran.
Hal itu tentu saja tidak terjadi secara kebetulan. Semua itu berkat kerja sama yang seimbang antara ayah yang bertindak sebagai guru dan anak sebagai murid. Sang guru mengerahkan segala daya upaya untuk membimbing dan mendidik sang putra, sementara sang anak mengimbanginya dengan semangat belajar yang tinggi, ulet, tekun, dan rajin.
Menjelang dewasa, Habib Abdullah menempuh pendidikan di Lembaga Pendidikan At-Taroqi, dari madrasah ibtidaiyah hingga tsanawiyah di Malang, kemudian melanjutkan ke madrasah aliyah di Pondok Pesantren Darul Hadits Al-Faqihiyyah li Ahlis Sunnah Wal-Jama’ah. Semua lembaga pendidikan itu berada di bawah asuhan ayahandanya sendiri.
Sebagai murid, semangat belajarnya sangat tinggi. Dengan tekun ia menelaah berbagai kitab sambil duduk. Gara-gara terlalu kuat belajar, ia pernah jatuh sakit. Meski begitu ia tetap saja belajar. Barangkali karena ingin agar putranya mewarisi ilmu yang dimilikinya, Habib Abdul Qadir pun berusaha keras mendidik Habib Abdullah sebagai ahli hadits.
Maka wajarlah jika dalam usia relatif muda, Habib Abdullah telah hafal dua kitab hadits shahih, yakni Shahihul Bukhari dan Shahihul Muslim, lengkap dengan isnad dan silsilahnya. Tak ketinggalan kitab-kitab Ummahatus Sitt (kitab induk hadits), seperti Sunan Abu Daud, Sunan Turmudzy, Musnad Syafi’i, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal; Muwatha’ karya Imam Malik; An-Nawadirul Ushul karya Imam Hakim At-Turmudzy; Al-Ma’ajim ats-Tsalats karya Abul Qasim At-Thabrany, dan lain-lain.
Tidak hanya menghafal hadits, Habib Abdullah juga memperdalam ilmu musthalah hadist, yaitu ilmu yang mempelajari hal ikhwal hadits berikut perawinya, seperti Rijalul Hadits, yaitu ilmu tentang para perawi hadits. Ia juga menguasai Ilmu Jahr Ta’dil (kriteria hadits yang diterima) dengan mempelajari kitab-kitab Taqribut Tahzib karya Ibnu Hajar Al-Asqallany, Mizanut Ta’dil karya Al-Hafidz adz-Dzahaby.
Selain dikenal sebagai ahli hadits, Habib Abdullah juga memperdalam tasawuf dan fiqih, juga langsung dari ayahandanya. Dalam ilmu fiqih ia mempelajari kitab fiqih empat madzhab (Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali), termasuk kitab-kitab fiqih lain, seperti Fatawa Ibnu Hajar, Fatawa Ramli, dan Al-Muhadzdzab Imam Nawawi.
Setelah ayahandanya wafat pada 19 November 1962 (21 Jumadil Akhir 1382 H), otomatis Habib Abdullah menggantikannya, baik sebagai pengasuh pondok peantren, muballigh, maupun pengajar. Selain menjabat direktur Lembaga Pesantren Darul Hadits Malang, ia juga memegang beberapa jabatan penting, baik di pemerintahan maupun lembaga keagamaan, seperti penasihat menteri koordinator kesejahteraan rakyat, mufti Lajnah Ifta Syari’i, dan pengajar kuliah tafsir dan hadits di IAIN dan IKIP Malang. Ia juga sempat menggondol titel doktor dan profesor.
Sebagaimana ayahandanya, Habib Abdullah juga dikenal sebagai pendidik ulung. Mereka bak pinang dibelah dua, sama-sama sebagai pendidik, sama-sama menjadi suri tedalan bagi para santri, dan sama-sama tokoh kharismatik yang bijak. Seperti ayahandanya, Habib Abdullah juga penuh perhatian dan kasih sayang, dan sangat dekat dengan para santri.
Sebagai guru, ia sangat memperhatikan pendidikan santri-santrinya. Hampir setiap malam, sebelum menunaikan solat Tahajjud, ia selalu mengontrol para santri yang sedang tidur. Jika menemukan selimut santrinya tersingkap, ia selalu membetulkannya tanpa sepengetahuan si santri. Jika ada santri yang sakit, ia segera memberikan obat. Dan jika sakitnya serius, ia akan menyuruh seseorang untuk mengantarkannya ke dokter.
Seperti halnya ulama besar atau wali, pribadi Habib Abdullah mulia dan kharismatik, disiplin dalam menyikapi masalah hukum dan agama. Tanpa tawar-menawar, sikapnya selalu tegas: yang haq tetap dikatakannya haq, yang bathil tetap dikatakannya bathil.
Sikap konsisten untuk mengamalkan amar ma’ruf nahi munkar itu tidak saja ditunjukkan kepada umat, tapi juga kepada pemerintah. Pada setiap kesempatan hari besar Islam atau hari besar nasional, Habib Abdullah selalu melancarkan saran dan kritik membangun – baik melalui pidato maupun tulisan.
Habib Abdullah juga dikenal sebagai penulis artikel yang produktif. Media cetak yang sering memuat tulisannya, antara lain, harian Merdeka, Surabaya Pos, Pelita, Bhirawa, Karya Dharma, Berita Buana, Berita Yudha. Ia juga menulis di beberapa media luar negeri, seperti Al-Liwa’ul Islamy (Mesir), Al-Manhaj (Arab Saudi), At-Tadhammun (Mesir), Rabithathul Alam al-Islamy (Makkah), Al-Arabi (Makkah), Al-Madinatul Munawarah (Madinah).
Sekiranya kita sempat membaca keseluruhan karya Saiyid Alwi al-Haddad yang tersebut di atas, dapat disimpulkan bahawa sangat luas pengetahuan yang beliau bahaskan. Saiyid Alwi al-Haddad diakui sebagai seorang tokoh besar dalam bidang sejarah, ahli dalam bidang ilmu rijal al-hadis.
Lebih khusus lagi sangat mahir tentang cabang-cabang keturunan ‘al-’Alawiyin’ atau keturunan Nabi Muhammad s.a.w.. Setahu saya memang tidak ramai ulama yang berkemampuan membicarakan perkara ini selain Saiyid Alwi al-Haddad. Boleh dikatakan tidak ada ulama dunia Melayu menulisnya secara lengkap. Sekiranya ada juga ia dilakukan oleh orang Arab keturunan Nabi Muhammad s.a.w. seperti yang pernah dilakukan Saiyid Utsman bin Abdullah bin Aqil bin Yahya al-Alawi, Mufti Betawi.
Saiyid Alwi al-Haddad ialah seorang ulama yang berpendirian keras dan tegas mempertahankan hukum syarak. Gaya berhujah dan penulisan banyak persamaan dengan yang pernah dilakukan oleh Saiyid Utsman bin Abdullah bin Aqil bin Yahya al-Alawi, Mufti Betawi. Saiyid Alwi al-Haddad selain menyanggah pendapat dan pegangan Syeikh Ahmad bin Muhammad as-Surkati yang lebih keras dibantahnya ialah A. Hassan bin Ahmad Bandung.
Bukan Saiyid Alwi al-Haddad saja yang menolak pegangan A. Hassan bin Ahmad Bandung tetapi perkara yang sama juga pernah dilakukan oleh Haji Abu Bakar bin Haji Hasan Muar. Sanggahan Haji Abu Bakar Muar terhadap A. Hassan Bandung berjudul Majlis Uraian Muar-Johor. Di bawahnya dijelaskan judul, “Pada menjawab dan membatalkan Al-Fatwa pengarang Persatuan Islam Bandung yang mengatakan babi itu najis dimakan bukan najis disentuh dan mulut anjing pun belum tentu najisnya.” Sebenarnya apabila kita meninjau sejarah pergolakan Kaum Tua dan Kaum Muda dalam tahun 1930-an itu dapat disimpulkan bahawa semua golongan ‘Kaum Tua’ menolak pemikiran A. Hassan Bandung itu khususnya Kerajaan Johor yang muftinya ketika itu Saiyid Alwi al-Haddad yang mengharamkan karya-karya A. Hassan Bandung di Johor.
MengembaraMuridnya sangat ramai. Antara tokoh dan ulama besar yang pernah menjadi murid Saiyid Alwi al-Haddad ialah:
1. Saiyid Alwi bin Syaikh Bilfaqih al-Alawi.
2. Saiyid Alwi bin Abbas al-Maliki.
3. Saiyid Salim Aali Jindan.
4. Saiyid Abu Bakar al-Habsyi
5. Saiyid Muhammad bin Ahmad al-Haddad.
7. Saiyid Abdullah bin Abdul Qadir Bilfaqih.
8. Saiyid Husein bin Abdullah bin Husein al-Attas.
9. Syeikh Hasan Muhammad al-Masyath al-Makki.
10. Kiyai Haji Abdullah bin Nuh.
Banyak dari anggota keluarganya yang menjadi ulama. Dari kecil, ia berguru pada ulama-ulama ternama di negerinya. Umar kecil mendapat dari paling tidak 70 ulama ulung di jazirah Arab. Hampir seluruh ulama di Hadramaut pun dikunjunginya untuk ditmba ilmunya. Di antara para gurunya yang sangat terkenal adalah Syekh Abubakar bin Abdullah Alkhatib, Abdur Rahim bin Abdullah bin Salim Alkhatib, Habib Abdur Rahman bin Ubaidillah Assegaf, Habib Alwi bin Abdur Rahman Alseri dan masih banyak lagi. Akan tetapi yang sangat diingati olehnya adalah Habib Abdullah bin Idrus bin Alwi Al Idrus. Ketika masih kecil, Syekh Umar sudah menunjukkan kemampuan dan kecerdasan dalam mempelajari ilmu syariat Islam.
Dia misalnya, telah sanggup menghapal Alquran ketika berumur 9 tahun dan berprestasi tinggi di sekolah hampir dalam semua mata pelajaran. Tak hanya itu. Dia juga dikenal mahir serta cepat menguasai ilmu bahasa Arab dan cabang-cabangnya seperti balaghah, nahwu, dan syair Arab. Suatu kemampuan yang boleh dikatakan sungguh luarbiasa yang ada pada dirinya adalah: dia sanggup menghapal nasab keturunan keluarga Arab khususnya Arab Yaman Hadramaut beserta asal-usulnya. Oleh kerana pengetahuannya yang luas dan tinggi, beberapa ulama kota Tarim telah berencana untuk melantiknya menjadi kadi di kota Tarim. Akan tetapi karena merasa masih belum sanggup, maka tawaran itu ditolaknya dengan bijaksana. Penolakan ini rupanya tetap membekas pada perasaan Umar yang membuatnya khawatir dan takut dicibir oleh orang-orang yang ia merasa segan untuk menolak. Maka diapun lantas membuat keputusan untuk ke luar negeri dan berhijrah ke Singapura pada tahun 1935.
Dia memulai hidup di Singapura dengan bekerja sebagai pegawai di salah satu lembaga pertanahan. Kemudian dia mencoba berdagang secara kecil-kecilan. Tetapi, sesibuk apapun dia dengan urusannya, dia tetap tidak mengenyampingkan perhatiannya dari masalah agama. Bila ditemuinya ada kumpulan tadarus ilmu agama, dia selalu mengikutinya. Sekitar tahun 1967 ia pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan juga memperdalam ilmu agama dengan tinggal di tanah suci selama 10 tahun. Syekh Umar kembali lagi ke Singapura pada pertengahan tahun 1977. Pada tahun 1977 itulah dia mulai aktif dalam bidang pengajaran dan dakwah agama hingga akhir hayatnya. Banyak masyarakat Muslim di Singapura yang mengikuti kelas bimbingannya yang diadakan hampir setiap hari dan malam. Kelas tadarusnya itu bahkan kemudian terkenal hingga ke mancanegara dan juga diketahui oleh para ulama luar negeri. Apabila datang seseorang ulama dari luar negeri, maka di antara tempat yang masuk dalam daftar 'wajib kunjung' adalah majelis ilmu yang dipimpin Syekh Umar.
Ada juga yang datang ke Singapura khusus untuk menemuinya atau mengambil ijazah dengan menjadi muridnya. Menariknya, sekolah dan majelis yang dibukanya itu disediakan secara gratis, alias tidak dipungut biaya. Walaupun begitu, rezeki dan hidayah dari Allah SWT senantiasa tetap tercurah datang kepadanya. Tidak hanya dari murid-muridnya, banyak masyarakat umum yang mengenalnya mengajukan diri sebagai donatur. Rezeki yang didapat, seringkali lebih dari keperluan yang dibutuhkan. Selanjutnya dana tersebut disumbangkannya kepada keluarga miskin dan panti asuhan. Tak hanya di Singapura, tetapi juga keluarga miskin dan panti asuhan yang berada di negeri asalnya. Pada usia 90 tahun, Syekh Umar berpulang. Dan meninggalnya ulama Syaikh Umar bin Abdullah bin Ahmad Alkhatib itu sungguh merupakan kehilangan bagi masyarakat Islam setempat dan dunia Islam umumnya.
Malah, Raja Faisal tidak akan membuat apa-apa keputusan berkaitan Makkah melainkan setelah meminta nasihat daripada Sayyid Alawi. Beliau telah meninggal dunia pada tahun 1971 dan upacara pengebumiannya merupakan yang terbesar di Makkah sejak seratus tahun. Dalam tempoh 3 hari daripada kematian beliau, Stesyen Radio Saudi tempatan hanya menyiarkan bacaan Al-Quran, sesuatu yang tidak pernah dilakukan melainkan hanya untuk beliau.
Maklumat lanjut tentang Sayyid Alawi boleh dirujuk kepada biografinya berjudul Safahat Musyriqah min Hayat Al-Imam As-Sayyid As-Syarif Alawi bin Abbas Al-Maliki oleh anaknya, yang juga merupakan adik kepada Sayyid Muhammad, Sayyid Abbas Al-Maliki. Sayyid Abbas juga seorang ulama, tetapi lebih dikenali dengan suara merdunya dan pembaca qasidah yang paling utama di Arab Saudi. Biografi ini mengandungi tulisan berkenaan Sayyid Alawi dari ulama dari seluruh dunia Islam.
Sejak kecil Habib Alwi telah menunjukan kecintaan dan kepeduliannya terhadap ilmu. Menuntut ilmu beliau geluti tanpa mengenal lelah. 'Tiada Hari Tanpa Belajar', demikianlah mungkin motto beliau semasa muda. Kapan dan di manapun beliau senantiasa belajar. Begitu urgen ilmu di mata Habib Alwi, hingga akhir hayatpun beliau senantiasa setia merangkulnya.
Habib Alwi lebih banyak belajar kepada Al 'Allamah Al Quthb Al Habib Abdul Qodir bin Ahmad Bilfagih. Seorang ulama terkemuka yang mendapatkan sanjungan dari salah seorang maha gurunya Al Habib Alwi bin Abdulloh bin Syihab, _"Wabilfagiihi fil fighi kal adzro'i, wa fittashowwufi wal adabi muttasi'i". Marga bilfagih (Hb. Abdul Qodir) dalam bidang fiqih bagai Imam Adzro'i, Dan dalam ilmu tasawuf serta kesusastraan bak lautan yang tak bertepi.
Habib Alwi adalah figur yang akrab dengan akhlaqul karimah. Apabila bertemu dengan muslim, beliau senantiasa menebar salam lebih dahulu. Dengan siapapun beliau selalu berkomunikasi dengan tutur kata yang halus dan sopan, bahkan sering kali tutur katanya membuat hati yang mendengarkan menjadi tenang. Sikap yang lemah lembut dan rendah hati senantiasa menghiasi hari-harinya. Tidak berlebihan jika beliau disebut sebagai Bapak anak yatim, kasih sayang dan kepedulian kepada mereka sangat kental dengan pribadi Hb. Alwi.
Keluhuran akhlaq dan keluasan ilmunya mampu melunakkan hati semua orang, kafir sekalipun. Suatu saat ada seorang non-muslim keturunan Tionghoa bertandang di kediaman beliau guna mendiskusikan ajaran agama islam. Dengan ramah dan senang hati Hb. Alwi menemuinya dan mengajaknya berkomunikasi dengan tutur kata dan akhlaq yang luhur. Mendengarkan penjelasan dan petuah-petuahnya orang tersebut tercengang dan terkesima. Seketika ia memantapkan hati menyatakan diri memeluk agama islam.
Dalam urusan mengajar dan berdakwah Hb. Alwi senantiasa berada di barisan terdepan. Sakit, hujan ataupun sedikitnya yang hadir dalam majlis beliau, semuanya tak mengurangi sedikitpun semangat bahkan keikhlasannya dalam mengajar dan berdakwah. Suatu ketika Habib 'Alwi mengajar di desa Gondanglegi Malang. Dalam perjalanan menuju desa tersebut hujan turun sangat lebat. Melihat kondisi demikian, salah seorang murid beliau yang menyertainya ketika itu mengusulkan agar majlis tersebut ditunda. Namun tidak demikian dengan Habib Alwi, karena beban dan tanggung jawab sebagai pengemban risalah nabawiyah, beliau tetap konsisten. Ironisnya, ketika sampai di tempat, ternyata yang hadir saat itu hanya segelintir manusia. Meskipun demikian Hb. Alwi tak patah semangat.
Bagi Hb. Alwi, apalah artinya semangat jika tanpa disertai keikhlasan. Pernah Habib Alwi diundang ceramah di wilayah Sukorejo. Beliau berangkat tidak dijemput dengan mobil mewah layaknya para muballigh lainnya. Tapi beliau hanya dijemput oleh salah seorang utusan panitia. Nanum, dengan landasan ikhlas yang tinggi dan ditopang semangat juang yang gigih, beliau berangkat ke Sukorejo hanya dengan mengendarai oplet, demi misi syiar islam.
Kesederhanaan memang tersirat dalam diri Habib Alwi. Memang untuk urusan mengajar beliau bukan tipe ulama yang perhitungan. Di mana dan kapanpun selagi tidak ada udzur syar'i. Siapapun orangnya yang meminta sampai harus naik apa, beliau bersedia hadir. Tidak jarang beliau diundang oleh orang miskin, di pelosok desa yang penuh rintangan, naik dokar sekalipun Habib Alwi menyanggupinya.
Hampir setiap sore terutama hari kamis Hb. Alwi memberikan pengajian di masjid Jami'
Da'wah Hb.Alwi melegenda ke segenap lapisan masyarakat. Mereka mengenal sosok Hb. Alwi sebagai ulama' yang memiliki kepribadian yang santun dan bersahaja. Maka tak heran jika beliau memiliki pengaruh kuat yang membuahkan hasil perubahan dan peningkatan. Keberaniannya dalam menyatakan yang haq itu haq dan yang bathil itu bathil mampu menembus dinding baja ruang kerja para pejabat pemerintah. Ketika ada di antara mereka yang bertindak semau gue tanpa mengindahkan syariat agama islam, beliau tidak segan-segan menegurnya.
Demi misi dakwah, Habib Alwi sanggup merelakan segalanya. Dalam hidupnya beliau tidak ingin merepotkan siapapun. Lebih-lebih ketika berdakwah di pedesaan, beliau membawa makanan sendiri dan dibagi-bagikan kepada hadirin. Hampir setiap hari, dalam pengajian yang beliau gelar di kediamannya, Hb. Alwi menjamu para santrinya. Belum lagi ketika beliau mengadakan pengajian secara mendadak, maka beliau tidak segan-segan untuk merogoh koceknya sendiri demi langgengnya dakwah islamiyah. Begitu ramah dan supelnya Hb. Alwi, sehingga tukang becak atau pengemis sekalipun tidak merasa sungkan bertamu kepada beliau. Lebih heran lagi, Hb. Alwi tidak pernah membeda-bedakan tamunya, ini pejabat, ini tukang becak dan sebagainya. Beliau menghormati semua tamunya dengan pelayanan yang proporsional. Sebagai tuan rumah beliau tidak segan-segan mengeluarkan sendiri hidangan untuk tamunya.
Suatu ketika ada seorang pengemis bertamu kepada Hb. Alwi. Kala itu beliau sedang istirahat siang sementara beberapa santrinya berjaga-jaga di serambi rumah beliau. Rupanya sang pengemis tersebut bersikeras ingin bertemu sang Habib sekalipun para santri tidak mengizinkannya. Namun akhirnya pun sang pengemis angkat kaki dari rumah Hb. Alwi membawa kekecewaan yang mendalam. Rupanya Hb.Alwi mengetahuinya. "Tadi ada tamu pengemis ya?", tanya Hb.Alwi kepada santrinya. "Iya Bib, tapi habib sedang istirahat", jawab salah seorang santrinya. "Kenapa tidak membangunkan saya? Iya kalau yang datang tadi pengemis betulan, kalau ternyata Nabiyulloh Khidir as?", tegas Hb. Alwi.
Habib Alwi meninggal pada tahun 1995M dan dimakamkan di pemakaman Kasin
Salah satu mahaguru beliau adalah Habib al-Qutb Abu Bakar bin Muhammad bin Umar Assegaf Gresik. Banyak dari kitab-kitab salaf yang beliau pelajari dari Habib Abu Bakar Assegaf terutama kitab karangan Imam al-Ghazali, Ihya Ulumuddin. Tidak hanya sekedar belajar, Habib Abu Bakar Assegaf Gresik juga mengijazahkan dan memberi titah kepada beliau Habib Abu Bakar bin Husein untuk membaca sekaligus mengajarkannya setiap hari di kediamannya sendiri. Tercatat di kediamannya sendiri, beliau telah mengkhatamkan kitab Ihya sebanyak 40 kali. Tiap t a hunnya beliau membuat jamuan yang istimewa dalam rangka acara khataman kitab Ihya tersebut. Beliau r.a adalah figur yang berakhlak mulia. Terbukti bahwa beliau adalah sosok yang luwes dalam bergaul. Beliau menatap setiap orang dengan tatapan yang berseri-seri, baik itu kecil atau besar, tua atau muda beliau tatap dengan muka manis penuh penghormatan. Beliau r.a juga senang berkumpul dan mencintai para fakir miskin dengan membantu memenuhi keperluan mereka, khususnya kaum janda dan anak-anak yatim. Meski p un demikian beliau belum pernah merasa kurang hartanya karena beliau bagi-bagikan, sebaliknya beliau mendapat balasan harta dan jasa dari orang-orang kaya pecinta kebajikan. Sungguh beliau r.a mencurahkan segenap umurnya untuk membantu kaum fakir miskin, orang-orang yang kesusahan, menjamu para tamu, mendamaikan 2 belah pihak yang saling berseteru dan mencarikan jodoh para gadis muslimat. Habib Abu Bakar bin Husein Assegaf selalu dan senantiasa memberikan motivasi untuk menapaki jejak para aslafunas sholihin, meniru dan berhias diri dengan akhlakul karimah. Bahkan beliau senantiasa mengingatkan akan mutiara kalam Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad (shohibur ratib):
"Berpegang tegunglah pada Al-Qur an da n ikutilah sunnah Rasul, dan ikutilah jejak para aslaf niscaya Allah akan memberimu hidayah."
Selain itu beliau juga mengingatkan akan pesan Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi (shohibul maulid) di kala berpesan pada putra-putranya:
"Diantara yang bisa membuat hatiku senang adalah dengan berpegang teguhnya kalian dengan thoriqoh para datuk, keluarga dan leluhurku."
Legitimasi beliau di mata kaum sholihin pada zamannya tidak perlu diragukan lagi. Alhabib Al- Arifbillah Habib Husein bin Muhammad al-Haddad Tegal berkata.
"Kepada seorang habib yang bersinar, yang telah masuk padanya huruf jar hingga ia menjadi _majrur (tertarik ke hadirat Allah) dan mabrur (baik) dan akan menjadi terpuji penghujungnya pada hari kebangkitan dan pengumpulan. Seorang yang indah dan ayah nya-Abu Bakar bin Hasan Assegaf. Semoga Allah menjaganya sebagaimana memelihara kitab sucinya yang mulia.
Dalam
"Segala puji bagi Allah zat yang maha berkehendak. Maka barangsiapa yang dikehendaki mendapat kebaikan pasti Ia akan menggunakannya pada jalan kebaikan. Shalawat dan salam semoga tetap tercurah keharibaan pemimpin dan kekasih kita Muhammad SAW yang telah mengajak kita pada segala kebajikan, beserta para sahabat dan kerabatnya serta kepada seorang anak yang telah diberkahi dan mendapat pertolongan Alhabib Abu Bakar bin Husein Assegaf, yang telah dijadikan oleh Allah sebagai tempat penampakan segala kebajikan, dan semoga dilimpahkan bagi beliau salam yang melimpah."
Pada akhir hayatnya beliau sekitar lima belas menit sebelumnya, beliau meminta putranya Habib Husein bin Abu Bakar Assegaf untuk membacakan bait qosidah Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad:
"Tiada satupun makhluk di muka bumi ini, melainkan ia membutuhkan keutamaan dari Tuhannya yang Maha Satu dan Esa."
Sampai akhir qasidah ini beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir untuk menghadap Sang Kholik yang Maha Suci.
Beliau wafat pada hari Senin 27 Muharram 1384H waktu subuh dan dikebumikan di Bangil pada hari Selasa waktu dhuha. Sepeninggal beliau ditemukan beberapa bait syair di bawah bantalnya yang ertinya,
"Aku telah menjadi tamu Allah di alam baka dan bagi dzat yang mulia pasti akan memuliakan tamunya. Para penguasa dapat memberi maaf bagi orang yang mengunjungi istananya, lalu bagaimanakah dengan orang yang berkunjung ke hadirat Tuhannya yang Maha Rahman."
Selamat jalan wahai kekasih Allah, sejarah telah mengabadikan namamu dengan tinta emas. Semoga kita dapat meneladani akhlak dan kebaikannya. Amin.
"Berziarahlah kamu kepada orang-orang soleh! Kerana orang-orang soleh adalah ubat hati."
(Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas)
"Seindah-indahnya tempat di dunia adalah tempat orang-orang yang soleh, kerana mereka bagai bintang-bintang yang bersinar pada tempatnya di petala langit."
(Habib Alwi bin Muhammad Al-Haddad)
"Setiap sebab (penyebab pertalian keturunan) mahupun nasab (pengikat garis keturunan) akan terputus pada hari kiamat, kecuali sebab dan nasabku, dan setiap keturunan dinisbatkan kepada pengikat keturunannya yakni ayah mereka, kecuali putera-putera Fatimah, maka sesungguhnya akulah ayah mereka dan tali pengikat keturunan mereka" (Riwayat Al-Baihaqi, Al-Tabrani & lain-lain)