Selasa, Oktober 28, 2008

Habib Muhammad Shahib Mirbath, Cikal Bakal Keluarga Ba’alawi

Beliau ialah ulama zuhud dan tawaduk, penuh keteladanan dan akhlak mulia, suka menolong serta dermawan. Sebagian jalur habaib, terutama Ba'alawi, adalah keturunannya.

Di Mirbath, Oman Selatan, ada seorang ulama besar yang terkenal dermawan, suka menyantuni fakir miskin, dan rumahnya terbuka bagi siapa saja. Nama lengkapnya Habib Muhammad bin Ali bin Alwi bin Muhammad bin Alwi al-Alawiyin bin Ubaydillah bin Ahmad al-Muhajir. Ia menghabiskan sebagian besar umurnya di Mirbath, di kawasan Dhofar, Kesultanan Oman Selatan (yang kini bernama Salalah), setelah hijrah dari kota kelahirannya, Tarim, Hadramaut. Setelah menetap di Mirbath, pengaruh ulama ini cukup besar, sehingga mendapat gelar Shahib Mirbath.

Sejak kecil, ia dididik oleh ayahandanya, Ali Khali’ Qasam, dengan pendidikan agama, termasuk memperdalam dan menghafal Al-Quran. Menjelang dewasa ia merantau ke berbagai tempat untuk menimba ilmu dan mencari pengalaman. Setelah merasa cukup, belakangan ia mengabdikan ilmunya – seperti syariat, tasawuf, dan bahasa Arab – di Hadramaut, sebelum tiba saatnya hijrah ke Mirbath. Di Hadramaut maupun Oman, namanya termasyhur, bahkan dikenal sebagai wali, terutama lantaran akhlaknya yang mulia, perilakunya yang istikamah, lapang dada, dengan wawasan keagamaan yang luas.

Selain sebagai mubalig, ia juga dikenal dermawan, suka membantu orang yang membutuhkan, dan berkorban harta bagi kepentingan umum. Rumahnya di Mirbath senantiasa terbuka bagi para tamu dari segala lapisan, mulai dari ulama, politikus, sampai orang biasa, dari perbagai penjuru. Ia memang sangat dekat dengan masyarakat.

Bukan hanya itu, ia juga suka menyantuni keluarga yang tidak mampu. Tak kurang dari 120 kepala keluarga menerima santunannya setiap bulan secara rutin. Ia juga suka membantu orang-orang yang membutuhkan pertolongannya. Setiap tamu yang datang ke rumahnya selalu ia jamu dengan penuh penghormatan.

Ia juga seorang pengusaha besar. Bisnisnya meliputi bidang pertanian, peternakan ayam, dan berbagai usaha yang berhubungan dengan hajat orang banyak. Tanahnya di Bait Jubair cukup luas dan subur. Hasil ladang pertaniannya luar biasa banyak. Salah satu ladangnya di Bait Jubair dalam satu musim pernah menghasilkan sekitar 40 kuintal gandum.

Salah satu keistimewaannya ialah suka bepergian ke berbagai tempat. Hampir semua tempat telah ia kunjungi. Setiap kali ia berkunjung ke sebuah desa selalu disambut beramai-ramai oleh penduduk setempat. Ia memang sangat terkenal dan berpengaruh di kalangan rakyat kecil.
Pada awal abad kelima Hijriah ia pindah dari Tarim ke Mirbath, dan selanjutnya bermukim di sana sampai akhir hayatnya. Sejak ia tinggal di Mirbath, banyak orang yang mengunjunginya. Bukan sekadar bersilaturahmi, tapi juga menimba ilmu agama. Maka dengan senang hati ia berdakwah dan mengajar.

Empat Anak

Kesibukannya menerima tamu dan mengajar tak mengurangi aktivitasnya beriktikaf, yang sering ia lakukan di berbagai masjid, terutama di Masjid Jami’ Mirbath. Masjid ini memang sengaja ia bangun khusus untuk masyarakat sekitar Mirbath. Di sana pula, ia mengajar dan berdakwah, selain beriktikaf.

Penduduk Mirbath sangat menghormatinya, terutama karena pribadinya yang penuh dengan keteladanan dan berwibawa. Tutur katanya lembut dan menarik, akhlaknya mulia dan sangat memesona. Selain bertakwa, hidupnya juga warak dan zuhud. Sebagaimana ditulis oleh Sayid Muhammad dalam kitab Al-Masyrau’r Rawy, tingkat keulamaan Shahib Mirbath telah mencapai Syaikhul Masyayikhil Islam (guru besar luar biasa dalam bidang ilmu agama Islam) dan ‘Ilmul-ulama al-A’lam (sumber ilmu para ulama). Dapat disimpulkan, kehadiran Shahib Mirbath di Mirbath banyak memberi manfaat bagi penduduk sekitarnya.

Shahib Mirbath dikaruniai empat orang anak lelaki: Abdullah, Ahmad, Alwi, dan Ali. Dari merekalah di kemudian hari berkembang cikal bakal keluarga besar Ba’alawi.

Putra pertama, Abdullah, menurut sumber-sumber sejarah, antara lain dalam kitab Al-Madkhal karya Sayid Alwi ibnu Thahir Alhadad, mempunyai keturunan yang kemudian menjadi pelopor dakwah di Asia Tenggara.

Putra kedua, Ahmad, mempunyai seorang putri bernama Zainab, yang dijuluki Ummul Fuqara’, istri Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad ibnu Shahib Mirbath.

Putra ketiga, Alwi Ammul Faqih, adalah sumber pertalian darah beberapa habib, seperti Alhadad, Aidid, ibn Smith.

Putra keempat, Ali, ia adalah ayah Al-Faqih Al-Muqaddam.

Dari merekalah kemudian keturunan Bani Alawiyin berkembang menjadi lebih kurang 75 leluhur, di samping leluhur Alawiyin lainnya dari keturunan Al-Imam Alwi Ammil Faqih Al-Muqaddam bin Muhammad Shahib Mirbath, yang akhirnya beranak-pinak menjadi lebih kurang 16 leluhur.

Adapun Ba’alawi adalah gelar kehormatan yang diberikan kepada keturunan Alawi bin Ubaidullah bin Ahmad bin Isa Al-Muhajir. Cucu Ahmad bin Isa Al-Muhajir yang bernama Alawi adalah orang pertama yang dilahirkan di Hadramaut. Oleh karena itu anak-cucu Alawi mendapat gelar Ba’alawi, yang bermakna “Keturunan Alawi”. Panggilan Ba’alawi juga bertujuan memisahkan kelompok keluarga ini dari cabang-cabang keluarga lain yang berketurunan dari Rasulullah SAW. Ba‘alawi juga dikenal dengan panggilan Sayid.

Shahib Mirbath telah berhasil mendidik kader-kader ulama sehingga menjadi ulama-ulama besar. Selain keempat putranya sendiri, ada beberapa ulama lain hasil didikannya, seperti Syekh Muhammad bin Ali (yang dimakamkan di kota Sihr), Syekh Al-Imam Ali bin Abdullah Adh-Dhafariyin, Syekh Salim bin Fadhl, Syekh Ali bin Ahmad Bamarwan, Al-Qadhi Ahmad bin Muhammad Ba'isa, Syekh Ali bin Muhammad Al-Khatib.

Dari sinilah di kemudian hari muncul beberapa generasi yang melancarkan dakwah ke seantero negeri. Dalam salah satu bait dari sebuah syairnya yang indah, Habib Abdullah bin Alwi Alhadad melukiskannya, “Penghuni Mirbath (adalah) seorang imam, pusat bermuaranya keturunannya, (yang kemudian menjadi) para ahli dakwah.” Shahib Marbath wafat pada 556 H/1136 M, dan dimakamkan di desa yang dicintainya, Mirbath.

(Disarikan dari Syarh Al-Ainiyyah, Nadzm Sayyidina Al-Habib Al-Qutub Abdullah bin Alwi Alhaddad Ba’alawi karya Al-Allamah Al-Habib Ahmad bin Zain Alhabsyi Ba’alawi
)

Selasa, Oktober 21, 2008

Syeikh Abu Bakar bin Salim, Hiasan Para Wali

Syeikh Abu Bakar bin Salim ialah syeikh Islam dan teladan manusia. Pemimpin alim ulama. Hiasan para wali. Seorang yang amat jarang ditemukan di zamannya. Da’i yang menunjukkan jalan Ilahi dengan wataknya.

Pembimbing kepada kebenaran dengan perkataannya. Para ulama di zamannya mengakui keunggulannya. Dia telah menyegarkan berbagai warisan pendahulu-pendahulunya yang saleh. Titisan dari Hadrat Nabawi. Cabang dari pohon besar Alawi. Alim Rabbani. Imam kebanggaan Agama, Abu Bakar bin Salim Al-’Alawi, semoga Allah meredhainya.

Beliau lahir di Kota Tarim yang makmur, salah satu kota di Hadramaut, pada tanggal 13 Jumadi Ats-Tsani 919 H. Dia kota itu, dia tumbuh dengan pertumbuhan yang saleh, di bawah tradisi nenek moyangnya yang suci dalam menghafal Al-Quran.

Orang-orang terpercaya telah mengisahkan; manakala beliau mendapat kesulitan menghafal Al-Quran pada awalnya. Ayahnya mengadukan halnya kepada Syeikh Al-Imam Syihabuddin bin Abdurrahman bin Syeikh Ali. Maka Syeikh itu bertutur: “Biarkanlah dia! Dia akan mampu menghafal dengan sendirinya dan kelak dia akan menjadi orang besar. Maka menjadilah dia seperti yang telah diucapkan Syeikh itu. Serta-merta, dalam waktu singkat, dia telah mengkhatamkan Al-Quran.

Kemudian dia disibukkan dengan menuntut ilmu-ilmu bahasa Arab dan agama dari para pembesar ulama dengan semangat yang kuat, kejernihan atin dan ketulusan niat. Bersamaan dengan itu, dia memiliki semangat yang menyala dan ruh yang bergelora. Maka tampaklah tanda-tanda keluhurannya, bukti-bukti kecerdasannya dan ciri-ciri kepimpinannya. Sejak itu, sebagaimana diberitakan Asy-Syilly dalam kitab Al-Masyra’ Ar-Rawy, dia membolak-balik kitab-kitab tentang bahasa Arab dan agama dan bersungguh-sungguh dalam mengkajinya serta menghafal pokok-pokok dan cabang-cabang kedua disiplin tersebut. Sampai akhirnya, dia mendapat langkah yang luas dalam segala ilmu pengetahuan.

Dia telah menggabungkan pemahaman, peneguhan, penghafalan dan pendalaman. Dialah alim handal dalam ilmu-ilmu Syariat, mahir dalam sastra Arab dan pandai serta kokoh dalam segenap bidang pengetahuan.

Dalam semua bidang tersebut, beliau telah menampakkan kecerdasannya yang nyata. Maka, menonjollah karya-karyanya dalam mengajak dan membimbing hamba-hamba Allah menuju jalan-Nya yang lurus.
Guru-guru beliau

Para guru beliau antara lain; Umar Basyeban Ba’alawi, ahli fiqih yang saleh, Abdullah bin Muhammad Basahal Bagusyair dan Faqih Umar bin Abdullah Bamakhramah. Pada merekalah dia mengkaji kitab Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah. Syeikh Ma’ruf bin Abdullah Bajamal Asy-Syibamy dan Ad-Dau’any juga termasuk guru-guru beliau.

Hijrahnya dari Tarim

Dia beranjak dari Kota Tarim ke kota lain bertujuan untuk menghidupkan pengajian. memperbarui corak dan menggalakkan dakwah Islamiyah di jantung kota tersebut. Maka berangkatlah beliau ke kota ‘Inat, salah satu negeri Hadramaut. Dia menjadikan kota itu sebagai kota hijrahnya. Kota itu dia hidupkan dengan ilmu dan dipilihnya sebagai tempat pendidikan, pengajaran dan pembimbingan. Tinggallah di sana hingga kini, masjid yang beliau dirikan dan pemakaman beliau yang luas. Syahdan, berbondong-bondonglah manusia berdatangan dari berbagai pelosok negeri untuk menimba ilmunya. Murid-murid beliau mengunjunginya dari beragam tempat: Hadramaut, Yaman, Syam, India, Indus, Mesir, Afrika, Aden, Syihr dan Misyqash.

Para murid selalu mendekati beliau untuk mengambil kesempatan merasai gambaran kemuliaan dan menyerap limpahan ilmunya. Dengan merekalah pula, kota ‘Inat yang kuno menjadi berkembang ramai. Kota itu pun berbangga dengan Syeikh Imam Abu Bakar bin Salim Al-’Alawi. Karena berkat kehadiran beliaulah kota tersebut terkenal dan tersohor, padahal sebelumnya adalah kota yang terlupakan.

Tentang hal itu, Muhammad bin Ali bin Ja’far Al-Katsiry bersyair:

Ketika kau datangi ‘Inat, tanahnya pun bedendang

Dari permukaannya yang indah terpancarlah makrifat

Dahimu kau letakkan ke tanah menghadap kiblat

Puji syukur bagi yang membuatmu mencium tanah liatnya

Kota yang di dalamnya diletakkan kesempurnaan

Kota yang mendapat karunia besar dari warganya

Dengan khidmat, masuklah sang Syeikh merendahkan diri

Duhai, kota itu telah terpenuhi harapannya.

Akhlak dan kemuliaannya

Dia adalah seorang dermawan danmurah hati, menginfakkan hrtanya tanpa takut menjadi fakir. Dia memotong satu dua ekor unta untuk para peziarahnya, jika jumlah mereka banyak. Dan betapa banyak tamu yang mengunjungi ke pemukimannya yang luas.

Dia amat mempedulikan para tamu dan memperhatikan keadaan mereka.Tidak kurang dari 1000 kerat roti tiap malam dan siangnya beliau sedekahkan untuk fuqara’. Kendati dia orang yang paling ringan tangannya dan paling banyak infaknya, dia tetap orang yang paling luhur budi pekertinya, paling lpang dadanya, paling sosial jiwanya dan paling rendah hainya. Sampai-sampai orang banyak tidak pernah menyaksikannya beristirehat.

Syeikh ahli fiqih, Abdurrahman bin Ahmad Bawazir pernah berkata: “Syeikh Abu Bakar selama 15 tahun dari akhir umurnya tidak pernah terlihat duduk-duduk bersama orang-orang dekatnya dan orang-orang awam lainnya kecuali ntuk menanti didirikannya saolat lima waktu”.

Syeikh sangat mengasihani orang-orang lemah dan berkhidmat kepada orang-orang yang menderita kesusahan. Dia memperlihatkan dan menyenangkan perasaan mereka dan memenuhi hak-hak mereka dengan baik.

Di antara sekian banyak akhlaknya yang mulia itu adalah kuatnya kecintaan, rasa penghormatan dan kemasyhuran nama baiknya di kalangan rakyat. Selain murid-murid dan siswa-siswanya, banyak sekali orang berkunjung untuk menemuinya dari berbagai tempat; baik dari Barat ataupun Timur, dari Syam maupu Yaman, dari orang Arab maupun non-Arab. Mereka semua menghormati dan membanggakan beliau.

Ibadah dan pendidikannya

Seringkali dia melakukan ibadah dan riyadhah. Sehingga suatu ketika dia tidak henti-hentinya berpuasa selama beberapa waktu dan hanya berbuka dengan kurma muda berwarna hijau dari Jahmiyyah di kota Lisk yang diwariskan oleh ayahnya. “Di abnar, dia berpuasa selama 90 hari dan selalu sholat Subuh dengan air wudhu Isya’ di Masjid Ba’isa di Kota Lask. Dalam pada itu, setiap malamnya di berangkat berziarah ke makam di Tarim dan sholat di masjid-masjid kota itu. Di masjid Ba’isa tersebut, dia selalu sholat berjamaah. Menjelang wafat, beliau tidak pernah meningalkan sholat Dhuha dan witr.

Beliau selalu membaca wirid-wirid tareqat. Dia pribadi mempunyai beberapa doa dan salawat. Ada sebuah amalan wirid besar miliknya yang disebut “Hizb al-Hamd wa Al-Majd” yang dia diktekan kepada muridnya sebelum fajar tiba di sebuah masjid. Itu adalah karya terakhir yang disampaikan ke muridnya, Allamah Faqih Syeikh Muhammad bin Abdurrahman Bawazir pada tanggal 8 bulan Muharram tahun 992 H.

Ziarah ke makam Nabi Allah Hud a.s adalah kelazimannya yang lain. Sehingga Al-Faqih Muhammad bin Sirajuddin mengabarkan bahawa ziarah beliau mencapai 40 kali.

Setiap malam sepanjang 40 tahun, dia beranjak dari Lask ke Tarim untuk sholat di masjid-masjid kedua kota tersebut sambil membawa beberapa tempat minum untuk wudhu, minum orang dan hayawan yang berada di sekitar situ.

Ada banyak pengajaran dan kegiatan ilmiah yang beliau lakukan. Konon, dia membaca kitab Al-Ihya’ karya Al-Ghazzali sebanyak 40 kali. Beliau juga membaca kitab Al-Minhaj-nya Imam Nawawi dalam fiqih Syafi’i sebanyak tiga kali secara kritis. Kitab Al-Minhaj adalah satu-satunya buku pegangannya dalam fiqih. Kemudian dia juga membaca Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah di depan gurunya, Syaikh Umar bin Abdullah Bamakhramah.

Karya-karyanya

Antara lain:

  • Miftah As-sara’ir wa kanz Adz-Dzakha’ir. Kitab ini beliau karang sebelum usianya melampaui 17 tahun.
  • Mi’raj Al-Arwah membahas ilmu hakikat. Beliau memulai menulis buku ini pada tahun 987 H dan menyelesaikannya pada tahun 989 H.
  • Fath Bab Al-Mawahib yang juga mendiskusikan masalah-masalah ilmu hakikat. Dia memulainya di bulan Syawwal tahun 991 H dan dirampungkan dalam tahun yang sama tangal 9 bulan Dzul-Hijjah.
  • Ma’arij At-Tawhid
  • Dan sebuah diwan yang berisi pengalaman pada awal mula perjalanan spiritualnya.

Kata Mutiara dan Untaian Hikmah

Beliau memiliki banyak kata mutiara dan untaian hikmah yang terkenal, antara lain:

Pertama:

Paling bernilainya saat-saat dalam hidup adalah ketika kamu tidak lagi menemukan dirimu. Sebaliknya adalah ketika kamu masih menemukan dirimu. Ketahuilah wahai hamba Allah, bahwa engkau takkan mencapai Allah sampai kau fanakan dirimu dan kau hapuskan inderamu. Barang siapa yang mengenal dirinya (dalam keadaan tak memiliki apa pun juga), tidak akan melihat kecuali Allah; dan barang siapa tidak mengenal dirinya (sebagai tidak memiliki suatu apapun) maka tidak akan melihat Allah. Karena segala tempat hanya untuk mengalirkan apa yang di dalamnya.

Kedua:

Ungkapan beliau untuk menyuruh orang bergiat dan tidak menyia-nyiakan waktu: “Siapa yang tidak gigih di awal (bidayat) tidak akan sampai garis akhir (nihayat). Dan orang yang tidak bersungguh-sungguh (mujahadat), takkan mencapai kebenaran (musyahadat). Allah SWT berfirman: “Barangsiapa yang berjuang di jalan Kami, maka akan Kami tunjukkan kepadanya jalan-jalan Kami”. Siapa pun yang tidak menghemat dan menjaga awqat (waktu-waktu) tidak akan selamat dari berbagia afat (malapetaka). Orang-orang yang telah melakukan kesalahan, maka layak mendapat siksaan.

Ketiga:

Tentang persahabatan: “Siapa yang bergaul bersama orang baik-baik, dia layak mendapatkan makrifat dan rahasia (sirr). Dan mereka yang bergaul dengan para pendosa dan orang bejat, akan berhak mendapat hina dan api neraka”.

Keempat:

Penafsirannya atas sabda Rasul s.a.w: “Aku tidaklah seperti kalian. Aku selalu dalam naungan Tuhanku yang memberiku makan dan minum”. Makanan dan minuman itu, menurutnya, bersifat spiritual yang datang datang dari haribaan Yang Maha Suci”.

Kelima:

Engkau tidak akan mendapatkan berbagai hakikat, jika kamu belum meninggalkan benda-benda yang kau cintai (’Ala’iq). Orang yang rela dengan pemberian Allah (qana’ah), akan mendapt ketenteraman dan keselamatan. Sebaliknya, orang yang tamak, akan menjadi hina dan menyesal. Orang arif adalah orang yang memandang aib-aib dirinya. Sedangkan orang lalai adalah orang yang menyoroti aib-aib orang lain. Banyaklah diam maka kamu akan selamat. Orang yang banyak bicara akan banyak menyesal.

Keenam:

Benamkanlah wujudmu dalam Wujud-Nya. Hapuskanlah penglihatanmu, (dan gunakanlah) Penglihatan-Nya. Setelah semua itu, bersiaplah mendapat janji-Nya. Ambillah dari ilmu apa yang berguna, manakala engkau mendengarkanku. Resapilah, maka kamu akan meliht ucapan-ucapanku dlam keadaan terang-benderang. Insya-Allah….! Mengertilah bahawa Tuhan itu tertampakkan dalam kalbu para wali-Nya yang arif. Itu karena mereka lenyap dari selain-Nya, raib dari pandangan alam-raya melaluiKebenderangan-Nya. Di pagi dan sore hari, mereka menjadi orang-orang yang taat dalam suluk, takut dan berharap, ruku’ dan sujud, riang dan digembirakan (dengan berita gembira), dan rela akan qadha’ dan qadar-Nya. Mereka tidak berikhtiar untuk mendapat sesuatu kecuali apa-apa yang telah ditetapkan Tuhan untuk mereka”.

Ketujuh:

Orang yang bahagia adalah orang yang dibahagiakan Allah tanpa sebab (sebab efesien yang terdekat, melainkan murni anugerah fadhl dari Allah). Ini dalam bahasa Hakikat. Adapun dalam bahasa Syari’at, orang bahagia adalah orang yang Allah bahagiakan mereka dengan amal-amal saleh. Sedang orang yang celaka, adalah orang yang Allah celakakan mereka dengan meninggalkan amal-amal saleh serta merusak Syariat - kami berharap ampunan dan pengampunan dari Allah.

Kelapan:

Orang celaka adalah yang mengikuti diri dan hawa nafsunya. Dan orang yang bahagia adalah orang yang menentang diri dan hawa nafsunya, minggat dri bumi menuju Tuhannya, dan selalu menjalankan sunnah-sunnah Nabi s.a.w.

Kesembilan:

Rendah-hatilah dan jangan bersikap congkak dan angkuh.

Kesepuluh:

Kemenanganmu teletak pada pengekangan diri dan sebaliknya kehancuranmu teletak pada pengumbaran diri. Kekanglah dia dan jangan kau umbar, maka engkau pasti akn menang (dalam melawan diri) dan selamat, Insya-Allah. Orang bijak adalah orang yang mengenal dirinya sedangkan orang jahil adalah orang yang tidak mengenal dirinya. Betapa mudah bagi para ‘arif billah untuk membimbing orang jahil. Karena, kebahagiaan abadi dapt diperoleh dengan selayang pandang. Demikian pula tirai-tirai hakikat menyelubungi hati dengan hanya sekali memandang selain-Nya. Padahal Hakikat itu juga jelas tidak erhalang sehelai hijab pun. Relakan dirimu dengan apa yang telah Allah tetapkan padamu. Sebagian orang berkata: “40 tahun lamanya Allah menetapkan sesuatu pada diriku yang kemudian aku membencinya”.

Kesebelas:

Semoga Allah memberimu taufik atas apa yang Dia ingini dan redhai. Tetapkanlah berserah diri kepada Allah. Teguhlah dalam menjalankan tatacara mengikut apa yang dilarang dan diperintahkan Rasul s.a.w. Berbaik prasangkalah kepada hamba-hamba Allah. Karena prasangka buruk itu bererti tiada taufik. Teruslah rela dengan qadha’ walaupun musibah besar menimpamu. Tanamkanlah kesabaran yang indah (Ash-Shabr Al-Jamil) dalam dirimu. Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah mengganjar orang-orang yang sabar itu tanpa perhitungan. Tinggalkanlah apa yang tidak menyangkut dirimu dan perketatlah penjagaan terhadap dirimu”.

Keduabelas:

Dunia ini putra akhirat. Oleh karena itu, siapa yang telah menikahi (dunia), haramlah atasnya si ibu (akhirat).

Masih banyak lagi ucapan beliau r.a. yang lain yang sangat bernilai.

Manaqib (biografi) beliau

Banyak sekali buku-buku yang ditulis mengenai biorafi beliau yang ditulis para alim besar. Antara lain:

Bulugh Azh-Zhafr wa Al-Maghanim fi Manaqib Asy-Syaikh Abi Bakr bin Salim karya Allamah Syeikh Muhammad bin Sirajuddin.

Az-Zuhr Al-Basim fi Raba Al-Jannat; fi Manaqib Abi Bakr bin Salim Shahib ‘Inat oleh Allamah Syeikh Abdullah bin Abi Bakr bin Ahmad Basya’eib.

Sayyid al-Musnad pemuka agama yang masyhur, Salim bin Ahmad bin Jindan Al-’Alawy mengemukakan bahawa dia memiliki beberapa manuskrip (naskah yang masih berbentuk tulisan tangan) tentang Syeikh Abu Bakar bin Salim. Di antaranya; Bughyatu Ahl Al-Inshaf bin Manaqib Asy-Syeikh Abi Bakr bin Salim bin Abdullah As-Saqqaf karya Allamah Muhammad bin Umar bin Shalih bin Abdurraman Baraja’ Al-Khatib.

Selasa, Oktober 14, 2008

Imam Syafie dan Cinta Ahlul Bait

Cinta buta sang imam itu telah membuat air mata hatinya semakin deras bercucuran, dan tak henti-hentinya membisikkan "Oh..." dalam sanubarinya. Cinta penuh misteri itu telah menjadi warisan misterius dari generasi ke generasi. Ia tak dapat dicari bahkan tak mudah dimengerti. Ia hanyalah anugerah termahal bagi mereka yang benar-benar berhati. Tidak dapat dibayangkan, cinta itu mampu menembus seluruh langit sampai ke titik final. Karunia cinta itu mampu menyatukan masa depan dan masa silam dalam satu waktu yang tak lagi mengenal zaman. Limpahan cinta itu laksana musim semi yang menerangi hati. Ia tak lekang oleh panas dan tak lapuh oleh terpaan angin hujan.

Tiada harapan yang terdetak dari sosok Imam Syafie melainkan Ahlul Bait. Harapan tak berujung itu senantiasa bersenandung dan mengibarkan sayapnya, terbang menuju angkasa bersama bintang-bintang yang semakin menyipratkan sinarannya, seraya mengumandangkan "Oh... Oh...". Ia tak tahu kata apa yang pantas untuk mengekspresikan rasa yang ada, rasa yang semakin menyala-nyala, rasa yang tak kenal sebabnya, rasa yang dipercikkan oleh tinta beningnya, dan rasa yang terungkap oleh segenggam kebisuannya. Apakah cinta itu suci dan sejati? Ataukah hampa dan sekedar ilusi? Setertutup itukah kau, Imam Syafie?!

Ketergila-gilaan Imam Syafie terhadap Ahlul Bait telah menjerumuskan sekelompok orang ke dalam lubang penyesatan. Tanpa perasaan sedikit pun, kelompok itu menyesatkan (menuduh sesat) Imam Syafie dan menggolongkannya dalam komunitas Rafidhah. Sekali lagi, Imam Syafie terlanjur gila kepada Ahlul Bait. Ia hanya merespon mereka dengan sahutan halus namun begitu kencang: "Bila cinta Ahlul Bait dinilai Rafidhah, maka bersaksilah hai segenap manusia dan jin, bahwa aku bersedia dikatakan Rafidhah!". Ia tak peduli nama ataupun panggilan, karena ia sebatas ingin bercinta dan bercinta.

Di waktu lain, Imam Syafie masih saja dianggap berlebihan mencintai Ahlul Bait. Ia dituduh melakukan sekaligus meneladankan bid'ah. Namun lagi-lagi, ia terlanjur jatuh dan terjatuh, jatuh cinta kepada Ahlul Bait. Imam Syafie justru membalas: "Bila cinta Ahlul Bait dinilai bid'ah, maka cukuplah bid'ah itu sebagai bekalku seumur hidup!". Di waktu lain pun ia masih bertahan dan bersaksi: "Bila cinta Ahlul Bait dinilai dosa, maka aku tidak akan pernah bertaubat dari dosa itu!". Sampai membuatkan kita terhairan-hairan. Ada apa dengan cinta Ahlul Bait?!

Tanda tanya itupun terjawab oleh imam yang sama, imam yang semakin tergila-gila oleh keluarga Baginda. Imam Syafie dengan hati melayang, melantunkan pernyataan sekaligus seruannya: "Hai Ahlul Bait, mencintaimu adalah kewajiban umat. Itulah ketetapan Allah dalam al-QuranNya. Cukuplah sebagai tanda keagunganmu; tidak akan pernah diterima solat seseorang yang enggan berselawat kepadamu!".

Terlepas dari identitas dan biografi Imam Syafie yang sudah tidak asing lagi di hati, Ahlul Bait adalah perahu keselamatan umat. Cinta Ahlul Bait adalah agama Islam sepenuhnya. Cinta Ahlul Bait adalah kunci rahmah dan barakah Allah. Cinta Ahlul Bait adalah segala-galanya! Al-Quran dan as-Sunnah pun telah dipenuhi pelbagai himbauan dan seruan kepada cinta Ahlul Bait, tiada lain karena cinta Ahlul Bait mengandung rahasia dan satu-satunya khasiat yang luar biasa, namun hanya sanggup dirasa oleh sang pecandunya; pecandu yang kenal siapa Ahlul Bait sebenarnya, pecandu yang cintanya natural tanpa direkayasa, pecandu yang membuktikan cintanya dengan ketaatan yang nyata, pecandu yang mengekspresikan cintanya dengan segala macam cara, pecandu yang beraqidah benar dan tidak melampaui batas-batasnya.

Sabtu, Oktober 11, 2008

Habib Abdullah Alaydrus bin Abu Bakar As-Sakran, Penyusun Ratib Alaydrus

Beliau ialah penyusun Ratib Alaydrus yang sering dibaca di beberapa majlis taklim, marga beliau bergelar Alaydrus yang ertinya ketua orang-orang tasauf.

Beliau lahir di Tarim pada 10 Zulhijjah 811H. Ayah beliau bernama Habib Abu Bakar Sakran dan ibunya bernama Mariam dari seorang zuhud bernama Syeikh Ahmad bin Muhammad Barusyaid.

Habib Abdullah Alaydrus bin Abu Bakar Sakran seorang wali qutub (imamnya para wali) dan seorang ahli sufi. Sejak kecil beliau gemar sekali membaca karya-karya ulama termasyhur seperti kitab Ihya ulumudin karangan Imam Ghazali hingga beliau hampir hafal kerana seringnya membacanya.

Beliau selalu tawaduk, beliau selalu duduk di atas tanah dan senantiasa sujud di tanah sebagai rasa bahawa dirinya tidak ada apa-apanya di hadapan Allah SWT. Kerap kali beliau mengangkat sendiri barang-barang keperluannya dan tidak memperkenankan orang lain untuk membantu membawanya. Beliau selalu berjalan ketempat-tempat yang jauh untuk taklim kepada seorang ulama. Jika merasa haus beliau meminum air hujan.

Menurut cerita beliau selalu menjalankan puasa-puasa sunat selama dua tahun dan berbuka hanya dengan 2 biji kurma. Kecuali pada malam-malam tertentu di mana ibunya datang membawakan makanan kepada beliau. Lantas beliau memakannya sebagai penghormatan kepada ibunya. Beliau melakukan puasa tersebut untuk mengekang hawa nafsunya, karena dari sumber makanan, perut terlalu kenyang bisa menyebabkan orang malas untuk beribadah dan selalu menuruti hawa nafsunya.

Beliau berguru kepada ulama-ulama besar seperti:

- Syeikh Muhammad bin Umar Ba’alawi

- Syeikh Sa’ad bin Ubaidillah bin Abi Ubei

- Syeikh Abdullah Bagasyin

- Syeikh Abdullah Bin Muhammad Bin amar

- Syeikh Umar Muhdor (mertua nya seorang ulama ahli sufi)

Beliau menikah dengan anak gurunya Habib Umar Muhdor yang bernama Syarifah Aisyah karena Habib Umar Muhdor mendapat isyarat dari para pendahulunya untuk menikahkan anaknya dengan Habib Abdullah Alaydrus. dan Beliau dianugerahkan lapan anak empat putera dan empat puteri.

Beberapa ulama memuji Habib Abdulloh Alaydrus di dalam karangannya diantaranya Al-Yafie dalam kitab Uqbal Barahim al-Musyarokah, muridnya Habib Umar bin Abdurrahman Ba’alawi dalam kitabnya Al-Hamrah mereka menceritakan tentang manaqib, kewaliaan dan karamah-karamah beliau yang terjadi sebelum dan sesudah beliau dilahirkan.

Sebahagian para auliya bermimpi bertemu dengan Rosulullah s.a.w. dan memuji Habib Abdullah Alaydrus dengan sanadnya, ”Ini anakku…ini ahli warisku…..ini darah dagingku…..ini rahsiaku…..ini ahli waris sunnahku….orang-orang besar akan mempelajari ilmu tarekat darinya”.

Diantara yang mengambil dan belajar tarekat dari beliau ialah Habib Ali bin Abu Bakar Sakran, Habib Umar Ba’alawi dan lain-lain.

Habib Abdullah Alaydrus menghembuskan nafas yang terakhirnya pada 12 Ramadhan 865H dalam usia 54 tahun dan dimaqamkan di Tarim, Hadramaut, Yaman.

Karya beliau selain Ratib Alaydrus ialah kitab Alkibritul Ahmar dan syarahnya dalam bentuk syair.

Jumat, Oktober 03, 2008

Salam Aidilfitri 1429H: Secebis Kisah Ulama Di Hari Raya

Salam Aidilfitri 1429H dan salam kemaafan dari saya buat seluruh kaum muslimin & muslimat terutama buat pengunjung blog saya ini. Sempena hari raya ini, saya hendak membawakan secebis kisah ulama di hari raya ini. Sama-sama kita susuri.

Haji Abdul Rahman Limbong ialah ulama yang kuat beramal. Sebahagian besar daripada waktu malam digunakannya untuk beribadat kepada Allah, terutamanya pada bulan puasa.

Pada setiap hari raya pula, beliau lazimnya mengurungkan diri di dalam rumahnya selepas sembahyang hari raya dan beribadat tanpa menghirau mereka yang datang membawa makanan untuknya. Sikap ini dapat diertikan bahawa beliau tidak ingin menggalakkan orang ramai bersusah payah menyediakan makanan untuknya, sebagaimana yang menjadi amalan masyarakat Melayu tradisi yang sangat mengambil berat terhadap orang-orang alim. Tambahan pula Haji Abdul Rahman amat menghalusi asal-usul makanan, bagi mengetahui halal-haramnya.

Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki biasa memberikan pelajaran baik di Masjidil Haram atau di rumah tidak tertumpu kepada ilmu tertentu seperti di universiti. Akan tetapi semua pelajaran yang diberikannya bisa di terima semua masyarakat baik masyarakat awam atau terpelajar, semua bisa menerima dan semua bisa mencicipi apa yang diberikan Sayyid Muhammad. Maka dari itu beliau selalu menitik-beratkan untuk membuat rumah yang lebih besar dan bisa menampung lebih dari 500 murid per hari yang biasa dilakukan selepas solat Maghrib sampai Isyak di rumahnya di Hay al-Rashifah.

Begitu pula setiap bulan Ramadhan dan hari raya beliau selalu menerima semua tamu dan muridnya dengan tangan terbuka tanpa memilih golongan atau darjat. Semua di sisinya sama tamu-tamu dan murid murid, semua mendapat penghargaan yang sama dan semua mencicipi ilmu bersama-sama.